Senin, 03 Agustus 2009

Eksistensi Konsistensi,sebuah quo vadis???



Disebuah padepokan "theorya" yang lusuh terdapat aktifitas keilmuan .Seorang Murid bertanya kepada gurunya yang bijak,"maaf guru apakah di dunia yang serba relatif dan "berubah" ini adakah yang dinamakan konsistensi, lalu adakah persona individu yang konsisten terhadap nilai2,perangkat paradigma yang ia yakini"?. murid yang lain menjawab dengan acuhnya, "nonsen,tidak ada dan tidak akan bisa manusia itu konsisten!!. sang Guru berkata yang sabar terhadap murid tersebut sekilas bertanya kembali, "murid ku yang pintar, atas alasan apa kau berpendapat bahwa manusia tidak akan pernah bisa untuk konsisten??". "Sebab manusia itu dipengaruhi lingkungannya, dan sejarah umat manusia tidak mencatat pribadi yang manut akan nilai serta pandangan yang ia yakini",jawab murid tersebut dengan yakinnya.

"apa kamu tahu yang dinamakan dengan "konsistensi" murid ku??". jawab sang murid lainnya "bagi ku konsisten adalah yakin terhadap nilai yang di anggap ideal serta paripurna bagi dirinya." terlepas perspektif orang lainnya salah atau tidak, bagi orang yang konsisten, ia tidak akan terpengaruh terhadap pendapat orang lain. "jadi bagi Mu ada orang seperti itu??. dengan tegas murid itu menjawab "TIdak ada !"

Dengan ketampakkan bijaknya, sang Guru kemudian berusaha menjawab rasa ingn tahu murid2 tersebut. Baiklah kita awali dengan terminologi kata tersebut. Konsistensi dalam ilmu logika merupakan sebuah sematik dengan sematik dimana antara satu dengan lainnya tidak mengandung kontradiksi. dengan kata lain, antara pemis2 yang ada,tidak tedapat pertentangan yang signifikan. "Konsistensi adalah keteguhan terhadap tujuan, dan usaha/pengembangan yang tak kerkesudahan" lanjutnya. manusia yang hidup dan diberi karunia akal oleh Tuhannya, mestilah memiliki nilai, seperangkat paradigma (melalui bentukan akademis maupun lingkungan) terhadap tujuan hidupnya. karena betapa sedinya seorang manusia yang tidak memiliki pandangan hidup serta yakin akan pandangan hidupnya tersebut. lalu dimana "konsistensi" akan kita letakkan?. dalam kerangka filsafat, episteme eksistensi mesti berkesinambungan dengan aksiologis atau perwujudan sikap serta tindakan terhadap nilai2 tersebut. pada aspek tersebutlah, peranan konsistensi amat penting dalam membangun serta merajut kepingan2 nilai menjadi suatu wujud yang hakiki.

kalian pernah mendengar cerita tentang kematian Filsuf yunani, Socrates??. "tentu saja pernah, ia mati karena mempertahankan pendiriannya tentang gagasan mengenai gaya tunggal dan transenden yang ada di balik pergerakan alam ini. Dengan demikian, Socrates memiliki pandangan yang bertentangan dengan kepercayaan umum masyarakat Yunani saat itu, yaitu kepercayaan pada kuil (oracle) dari dewa-dewa, oleh krenanya ia dihukum untuk meminum racun oleh penguasa Yunani kala itu", jawab sang murid. "Excelent!," sang Guru mengapreasiasi jawaban muridnya tersebut. distulah letak konsistensi, socrates rela menanggalkan kehidupannya demi sebuah "pendirian"!, semua murid memandang diam terfokus pada sang Guru. sebenarnya socrates bisa saja selamat dari kematian asal dia menanggalkan pendiriannya tersebut, tapi faktanya ia tidak melakukan hal tersebut, karena ia konsisten dengan apa yang menurutnya (melalui kontemplasi yang sakral) benar.

"munginkah socrates itu cuma mitos Guru?", bertanya kembali seorang murid yang sedari tadi tertuju pada bahan bacaan di tangannya. apakah testimoni beribu ilmuwan sejarah dunia adalah kebohongan?, bagi Ku tidak wahai murid ku. sejarah pun turut di bentuk oleh sebuah konsistensi, pendulum sejarah tidak akan pernah mencatat perubahan yang maha dahsyat apabila para pelaku sejarah hanya manut terhadap keadaan serta merelatifkan segala hal. revolusi Prancis tidak akan pernah terjadi tanpa adanya konsistensi masyarakat terhadap nilai2 liberte, egalite atau fraternite. Abad pencerahan di eropa tidak akan terlaksana apabila para ilmuwan taqlid terhadap aturan gereja serta melacurkan pendiriannya tentang logika ilmu pengetahuan yang rasional, murid2 semakin terdiam.
Kalian mengimani Nabi Muhammad???. "terang saja Guru, kami cinta Rosul" sebagian murid menjawab. sambil tersenyum sang guru melanjutkan "kalau kalian mengimani rosul, artinya kalian juga mesti "mengimani" konsistensinya terhadap perjuangan tegaknya Islam di zamannya. tanpa konsistensi, nabi mungkin akan menyerah kepada politik penghinaan kaum quraisy ataupun politik adu dombanya kaum yahudi ketika itu. "tapi itu karena dia nabi, dan nabi pasti di tuntun oleh Tuhan Guru", jawab salah satu murid tidak mau menyerah atas jawaban sang Guru. kalian pernah mendengan cerita tentang nabi Yunus AS ? beliau juga nabi, tapi konsistensinya sempat terputus ketika ia meninggalkan kaumnya. kalau bukan karena "teguran Tuhan melalui seekor paus" mungkin beliau tdak akan pernah kembali.
betapa banyak para "punggawa" sejarah yang membuat "dentuman" sejarah karena konsistensinya,tanpa itu mereka hanyalah penonton!!!.

akhirnya sang guru bertanya " apakah kalian masih menafikan abstraksi konsistensi??. dengan analogi yang lain, apakah kalian akan bermanja di mainkan oleh relatifitas dunia ini tanpa semangat perubahan yang lahir dari konsistnsi paradigma kebaikan? itu semua piliham kalian murid ku.
"KENALILAH DIRI MU" sang Guru mnutup dengan sebuah kata familiar yang di ucapkan socrates era yunani klasik,,dan semua murid pun tersenyum.

Rabu, 01 Juli 2009

Paradigma Siklikal



Dalam setiap karya fikiran setidaknya akan selalu mengandung pesan dari subjek pemikir kepada objek persona yang dituju. pesan tersebut tidaklah bebas nilai, mengandung bias perspektif sehingga sepatutnya "insan" yang paripurna pemikirannya, mesti "mencerna" hasil olah pemikiran tersebut dengan bijak. karena apabila tidak, kita akan "tersesat" dalam belantara "doktrinasi" objek karya fikir tersebut.

Setidaknya terdapat 3 mazhab besar yang yang dapat dijadikan alat analis kita dalam "mencerna" perspektif berfikir suatu hasil karya fikir, serta derivasinya dan implikasi dari "kepasrahan taqlid" kita terhadapnya, yakkni :
- Perspektif Marxian,,menurut mazhab ini suatu karya fikir tidaklah akan pernah terlepas dari pengaruh kondisi sosial-ekonomi-politik semasa objek pemikir menciptakan "masterpiece" pemikirannya. misalnya "il principe" masterpiece Niccolo Machevelli yang ditulis tahun 1513,,mungkin kita akan menganggap betapa Macchevelli begitu "otoriter" serta menganjurkan sistem kepemimpinan otoriterianisme dalam kerangka menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.

begitu "gila" dengan nasihatnya yang blak-blakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan. padahal tulisannya tidak terlepas dari pengaruh sosial-ekonomi-politik "republik florence" yang lemah, hanya memiliki tentara bayaran serta resiko kudeta selalu terjadi. untuk itulah "il Principe" menganjurkan agar raja mesti kuatt secara pribadi serta mesti menggunakan segala cara dalam mempetahankan kuasanya. untuk itulah kita tidak mesti "mensesatkan" pemikiran mereka, baik marx, Maccheveli, Hegel dan lainnya,,aryanya bersenyawa dengan zamannya.

-Perspektif Freud-ian,,,Dalam perspektif ini suatu hasil karya pemikiran tidak terlepas dari bias penguasaan libido hasrat kuasa subjek pemikir kepada objek pembacanya. Setiap karya akan selalu mengarah kepada penguasaan kesadaran berfikir, karena persona subjek pemikir tidak terlepas dari bias subjektifitas alam bawah sadar hsrat penguasaan. Sigmund freud sebagai seorang psikoanalis, cenderung melihat pribadi manusia akan selalu timbul hasrat ("refleksi" dari memuncaknya libido) dalam dirinya yang tertuang dalam setiap karya pemikirannya dalam kerangka "menguasai kesadaran" objek "receiver" yang di tuju. "Das kapital" Marx atau "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations" karya Adam smith yang disebut-sebut sebagai bapak kapitalisme klasik, adalah merupakan upaya untuk "menguasai" kesadaran berfikir setiap pembacanya. untuk itulah "insan" pembaca mesti kritis dalam memaknai setiap karya para pemikir/ Tidak "taken 4 Granted", tapi secara kritis menganalisanya berdasarkan infra maupun supra struktur arsitektur bangunan perekonomian pada setiap zamannya.

-Perspektif Durkheim-an,,

Sabtu, 14 Maret 2009

Rabu, 11 Maret 2009

Sekilas Dialektika Sosial Marx

Dialektika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dialogue yang berarti percakapan dan dialog. Pada mulanya, dialetika bermakna mencapai hakikat untuk membuka ide-ide kontradiktif dan pandangan yang saling bertentangan yang dilontarkan di dalamnya. Masing-masing pandangan itu menunjukan titik kelemahan dan kesalahan yang ada pada lawan berdasarkan pengetahuan yang sudah diakui, maka berkembanglah pertentangan antara penafian dan penetapan dalam pembahasan dan perdebatan tersebut, hingga berhenti pada kesimpulan yang didalamnya terdapat salah satu pandangan ini dipertahankan.

Dialektika juga dapat berarti suatu proses dimana materi menemukan pembentukan tahap selanjutnya sampai kepada bentuk akhirnya, yang mana berubah dari satu bentuk kepada bentuk yang lain adalah ujud perubahan materi, sedangkan cara guna mewujudkan perubahan tersebut adalah dengan menciptakan pertentangan antar satu materi dengan materi yang lain, atau menciptakan konflik antara satu pihak dengan pihak lain. Menurut konsep materialisme dialektis Hegel yang kemudian dikaji ulang atau dikembangkan olah Karl marx yang menyatakan bahwa perubahan bentuk secara material dari satu bentuk ke bentuk yang lain adalah materi dialektis dari satu kesatuan eksistensi yang didalamnya terdapat tesis , antitesis, sintesis. George Lavebvre (1874-1959) ahli sejarah prancis mengatakan:”jika tidak ada yang terjadi, berarti disini tidak ada kontradiksi. Sebaliknya, jika tidak ada kontradiksi berarti tidak ada yang terjadi, tidak ada yang wujud dan tidak terlihat adanya aktifitas apapun, dan berarti tidak ada sesuatu yang baru”. contoh pengaplikasian metode tesis, antitesis, sintesis: bahwa keadaan yang ada saat ini merupakan thesis, baik ketika terjadi kezaliman ataupun tidak; untuk mewujudkan perubahan manjadi keadaan baru (sintesis), diperlukan adanya antitesis (kontradiksi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan), sehingga muncullah apa yang disebut dengan class struggle (perlawanan antar kelas masyarakat), antar kelompok miskin dengan kaya, dan pada saat itulah akan terjadi perubahan baru.

Karl marx menyimpulkan bahwa masyarakat bukan terdiri atas individu-individu –seperti pandangan Hobbes dan Locke- melainkan terdiri atas kelas-kelas. Yang dimaksudkan kelas disini adalah kelompok orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi (capital relation). Menurut Marx, seorang anggota masyarakat tidak mengembangkan dirinya secara individual dalam situasi yang vakum, melainkan dari dan melalui kelas ia tergolong (terbentuk), gabungan dari individu itulah sebagai kelas yang membentuk nilai, gagasan dan kebutuhan. Marx juga mengajukan suatu teori dialektika-materialisme yang berisi, semua sejarah merupakan pergantian dominasi dari satu kelas terhadap kelas lain. Dominasi suatu kelas berakhir dengan revolusi terhadap terhadap kelas tersebut yang kemudian memunculkan kelas baru yang mendominasi kelas lain.

Pada abad pertengahan, eropa di dominasi oleh kelas aristokrasi, namun dalam kelas feodal ini terdapat kontradiksi internal yang pada gilirannya menghancurkan kelas itu sendiri. Kontradiksi itu terjadi karena pada satu pihak mereka memerlukan pelayanan bank dan pedagang, namun pada pihak lain secara etis status sosial kebangsawanan menghambat mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan ekonomi. Kemudian mereka membentuk kelas baru yakni kelas kapitalis, yang bersamaan dengan munculnya revolusi industri dan liberalisme yang kemudian kelas terakhir ini menjatuhkan kelas feodal. Kelas kapitalis kemudian menguasai eropa namun manurut Marx kontradiksi internal yang melekat dalam kelas ini pula yang akan menghancurkan kelas kapitalis. Menurut Marx, kontradiksi internal kapitalisme dapat berupa pada satu pihak persaingan bebas dan sehat harus terwujudkan, pada pihak lain untuk dapat survive mereka memerlukan koordinasi dalam pengadaan sarana produksi dan distribusi. Kontradiksi ini menimbulkan akumulasi kapital pada kelompok kecil pengusaha, sedangkan di pihak lain timbul kemelaratan besar-besaran di kalangan buruh dan penduduk pada umumnya yang menyebabkan timbulnya sebuah revolusi proletariat guna menumbangkan hegemoni kapitalis. Oleh sebab itulah kemudian timbul bentuk lain dari kapitalisme yakni imperialisme dan kolonialisme guna mengurangi surplus produksi yang terjadi (new market) serta eksploitasi bahan baku produksi.

Karl marx mengecam keadaan ekonomi dan social disekelilingnya, akan tetapi ia berpendapat bahwa masyarakat tidak dapat diperbaiki secara tambal sulam dan harus diubah secara radikal melalui pendobrakan sendi-sendinya. “Semua filsafat hanya menganalisa masyarakat, tetapi masalah sebenarnya adalah bagaimana mengubahnya”. Menurutnya pertentangan antara kaum kapitalis dan kaum proletar merupakan pertentangan kelas yang teakhir dan dengan demikian akan berakhirlah gerak dialektis. ”kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang sedang hamil tua dengan masyarakat baru”. Selama masyarakat dibagi kedalam kelas-kelas, selama masih ada eksploitasi manusia oleh manusia, perang tak bisa dihindari.

Berikut pemikiran Karl marx yang essainya membahas tentang perubahan dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme Franz magnis suseno: uraian tentang bagaimana kapitalisme niscaya berakhir. Dalam revolusi ini hanya memperhatikan faktor-faktor utama. Sebenarnya persyaratan revolusi sosialis lebih kompleks. Revolusi proletariat baru dapat berhasil menumbangkan kapitalisme dan mendirikan sosialisme apabila syarat-syarat berikut terpenuhi :
Keadaan harus sedemikian buruk sehingga tidak tertahankan lagi oleh bagian terbesar umat manusia.
Kapitalisme sudah berhasil menciptakan kekayaan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan segenap orang.
Revolusi harus merupakan sebuah peristiwa global.
Tenaga-tenaga produktif harus sudah berkembang secara universal sehingga pembagian kerja tidak perlu lagi.
Dalam revolusi sendiri kesadaran seorang revolusioner proletariat harus terbentuk.

Meminjam teori benturan sosial determinisme Marx, kejayaan kapitalisme akan tumbang ketika dimana dunia sudah jengah akan kemiskinan global, terpusatnya sirkulasi modal di segelintir korporasi, terbentuknnya kesadaran untuk melawan dominasi modal korporasi, mewabahnya doktrin “globalisasi” yang menggilas kearifan lokal, sepertinya akhir dari kejayaan Kapitalisme tinggal menunggu waktu saja.

Referensi
Andrian Sipatungguh. 2005. Melawan Dengan Teks : kejatuhan Kapitalisme. Resist Book
Latif Wiradaguna. 2003. Marx dan Sosialisme. Resist Book

Politik dan Administrasi Negara

Politik dan administrasi negara sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal tolak administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan dari proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah kelanjutan dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah kebijakan yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya. Mempelajari negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan kekuasaan dan hal tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari kontestasi politik yakni kekuasaan.

Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem pola hubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian).

Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. ketika pemerintah tidak mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda kebijakan. Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang mengikutsertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.

Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi negara
Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang sangat luas. Di indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai-pun yang menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain. Akibatnya pemerintah dalam pembentukan kabinet guna merealisasikan program kerja pemerintah, selalu dilandasi dengan kerja sama atau koalisi dari beberapa partai yang diikuti oleh pembagian “kue” yakni jatah kursi menteri-menteri yang akan memimpin departemen. Ketika partai telah memperoleh pembagian jatah kursi menteri, maka kemudian yang terjadi adalah departemen-departemen tersebut seolah menjadi milik partai dan jabatan-jabatan strategis dilingkungan departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang partai asal si menteri. Dalam keadaan yang demikian ekstrim, pengisian tersebut kadang-kadang mengabaikan norma kepegawaian yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat lanjutnya adalah staff kementrian tersebut kurang mampu, penempatan pegawai tidak tepat sehingga administrasi negara tidak berjalan dengan efektif.

Oleh karena kedudukan menteri sangatlah erat dengan konstelasi politik antar partai pengusung kekuasaan dan juga bargaining politik antar elit partai, maka seorang menteri bisa saja berhenti ketika partainya tidak mampu menempatkan dirinya sesuai sebagaimana seharusnya dilingkaran kekuasaan. Untuk itulah, partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan soekarno walaupun itu menanggalkan prinsip-prinsip kepartai-an itu sendiri.

Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan ysng paradoks. Oleh karena administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi kepada partai politik tertentu, maka sering terjadi pembentukan suatu badan/lembaga tertentu baru atau unit-unit baru dalam suatu kementrian, Walaupun secara terselubung dilatar belakangi kepentingan untuk menempatkan orang-orang partai pada jabatan-jabatan dalam badan/lembaga yang baru terbentuk. Lambat laun terciptanya struktur organisasi administrasi yang tidak efisien akibat adanya suatu organisasi yang tidak jelas tugas dan fungsinya dan juga tumpang tindih arah kerja ketika beberapa organisasi mempunyai tugas dan fungsi yang sama, birokrasi berlebih-lebihan yang menghambat proses kerja dan abuse of power.

Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh pertai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya.

Disamping itu adanya perbaikan kompensasi pegawai mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan memberi kenaikan gaji beberapa kali lipat. Guna meningkatkan pelayanan publik, para aparatur negara yang memberikan pelayanan tersebut juga haruslah makmur atau sejahtera hidupnya. Analisa pemerintah dengan dinaikkannya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, maka akan memperkecil adanya kesempatan untuk melakukan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang akibat keterpurukkan taraf hidup ekonomi para aparat pemerintah. Pemerintah merencanakan dengan sebuah kesinergisan dan keharmonisan antar pelaku maupun objek kebijakan maka suatu pelayanan publik yang prima itu akan terealisasikan.

Namun ironisnya yang terjadi kemudian, terjadinya egaliterisme pemerintahan. Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur budaya maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi kapital yang berlebihan pada sebagian konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Perlu diperhatikan,awalnya soeharto melihat dengan menumpukkan kapital di salah satu konglomerat maka efek feedbacknya akan terciptanya “rembesan ke bawah” -kalau merujuk woodrow wilson- para konglomerat tersebut akhirnya akan membuka faktor produksi yakni perusahaan yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja dilingkungan perusahaan tersebut.

Selain itu, budaya militer pun mempengaruhi disfungsi birokrasi Politik militer yang tanpa tanding (oposisi) mengakibatkan pemerintah kehilangan kontrol, pemerintah merasa segala tindak lakunya tidak akan ada penghalangnya. Ini berakibat dengan dekonsistensi organisasi, banyaknya para pejabat yang korup yang pada akhirnya budaya korupsi pun tercipta dikarenakan tidak adanya pengetatan hukum ketika itu. Arah dari pemerintah ketka itu ialah pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi oriented profit sehingga birokrasi menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang tak bermateri. Lambat laun hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu arahnya.

birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah sebaliknya, publik secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan kualitas pelayanan yang prima bagi mereka.
Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.

Budaya birokrasi yang omnipotent pada akhirnya berakibat terhadap hal-hal yang sangat prinsipil dalam tata birokrasi yang kompetitif, diantaranya ialah :
a.Menurunnya kualitas para aparat birokratnya karena terbiasa akan budaya birokrasi yang santai.
b.Melemahnya ke-efektifan organisasi terhadap orientasinya akan pelayanan kepada publik.
c.Tiingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik negara menjadi sangat rendah atau tidak perduli lagi.
d.Dan yang paling riskan ialah hancurnya budaya organisasi negara secara keseluruhan dan timbulnya ketidak pedulian negara terhadap warga negaranya yang akan memicu timbulnya suatu hal yang destruktif bagi kemajuan potensi kebangsaan kita.

Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini
Dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap administrasi kebijakannya.

Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “reformation birokrasi in globalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan meregulasi para aparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruang lingkup system ia menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau rvitalisasi terhadap systemnya.

Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya birokrasi di Indonesia. Pada dasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa terbesar bagi sakitnya birokrasi kita ialah pada systemnya. Menurut ia “when the processing of politic is finish, the birokration is begin”, artinya birokrasi itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itu telah selesai birokrasi berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politik namun bukan bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil) politik.

Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yang cukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi kehilangan kenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat ialah ia harus netral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika ada mutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakin dekatnya ajang pilkadal di tahun 2006 ketika itu.

Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra kondisi kestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai. Politik dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negara ada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis demarkasi yang jelas antar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah positif bukan malah bersifat korosif.

Referensi

Leo Agustino. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. AIPI Bandung & KP2W Lemlit Unpad
Jorge Lowell. 2001. Birokration Reform in globalitation era. Ford Foundation

REFORMASI DAN REORIENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT

Sejarah perjalanan relasi pemerintah pusat dengan daerah di Indonesia diwarnai dengan friksi, rekonsiliasi kemudian disharmoni kembali. Dari catatan Harold crouch misalnya (Crouch : 32) contoh indikasi yang menggambarkan betapa antagosnistik relasi antara pemerintah daerah dengan pusat ialah pemberontakan PRRI/Permesta yang timbul akibat ketidak-merataan pembangunan ekonomi antara pusat -Jakarta dalam hal ini- dengan daerah terutama yang berada secara geografis dan administratif diluar jawa.

Saat ini pun relasi yang terjadi antara pusat dan daerah bersifat antagonistik. Pasca reformasi yang menggulirkan era desentralisasi yang implikasinya adalah reduksi kekuasaan pemerintahan pusat, terjadi tarik menarik kepentingan antara elit negara dan elit daerah. Elit pemerintahan pusat dalam era otonomi daerah mesti menerima penguatan daerah dalam menentukan setiap kebijakan didaerahnya meskipun eksesnya kehilangan sebagian besar previlege yang dikuasainya semasa rezim orde baru. Namun pemerintah pusat pun sepertinya tidak ingin sepenuhnya melimpahkan kewenangan kepada pemerintah daerah, ini terlihat dari masih tersentralisasinya beberapa varian penerimaan keuangan seperti pajak, perizinan investasi dan lainnya. Beberapa kasus Perda bermasalah pun menjadi indikator-indikator dari masih belum harmonisnya sistem relasi kewenangan antara pusat dan daerah dalam masa otonomi daerah. Bahkan APPSI (asosiasi pemerintahan Provinsi se Indonesia) menginginkan jabatan Gubernur setingkat dengan menteri dalam struktur pemerintahan Indoensia

Relasi yang belum harmonis ini mesti segera dicarikan solusinya dalam rangka menyukseskan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi kewenangan yang sporadis tidak tersistem serta gradual hanya akan memperparah korosi sistem ketatanegaraan dinegeri kita. Seperti realita yang terjadi saat ini dimana tidak hanya desentralisasi kewenangan namun juga desentralisasi korupsi yang akut. Bahkan ada postulat yang mengatakan korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Semakin tersentral kekuasaan, semakin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan itu. Jenis ini ditemukan di masa Rezim Orde Baru. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Jenis ini di alami sekarang, di zaman pasca Orde Baru. Bisa dibayangkan jika yang terjadi otonomi yang seluas-luasnya. Menurut postulat ini, korupsi pun akan mengikuti rangkaiannya dimana terjadi seluas-luasnya di banyak pusat kekuasaan yang otonom itu. Oleh karenanya menurut Prof. Ryas Rasyid seorang konseptor otonomi daerah yang juga mantam menteri otonomi daerah di masa pemerintahan Gus Dur, pelaksanaan otonomi daerah mesti mengacu pada orientasi wawasan nasional, tidak an sich kebutuhan lokal. Menurutnya bukankah otonomi daerah di create dalam rangka kepentingan nasional, untuk itulah kuasa elit local yang kini “subur” mesti di negasikan.

Pembelajaran dari praktek desentralisasi di Amerika latin
Belajar dari negara-negara Amerika latin semisal Kolombia dan Argentina yang juga melaksanakan kebijakan politik desentralisasi walau berbeda dalam tahapannya, kita akan mengerti alasan mengapa aspirasi publik hanya menjadi ”kelengkapan” normatif saja dari wacana pembentukan daerah. Terdapat tiga jenis kekuasaan yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada daerah dalam praktek politik desentralisasi, yakni : pertama, desentralisasi politik, kedua, desentralisasi fiskal serta ketiga, desentralisasi administratif ( G. Faletti 2004 dalam Leo Agustino hal 189-190 : 2007).

Menurut Falleti kekuasaan itu harus di limpahkan secara gradual serta sekuensial. Dengan memberikan pelimpahan wewenang secara sekuensial, akan menghasilkan dampak otonomi daerah yang berbeda. Contohnya Kolombia yang didahului dengan pelimpahan desentralisasi politik lebih dahulu, lalu kemudian disusul dengan desentralisasi fiskal dan terakhir desentralisasi administrasi. Bandingkan dengan Argentina yang didahului desentralisasi administrasi, lalu kemudian menyusul desentralisasi fiskal dan selanjutnya desentralisasi politik. Hasilnya, otonomi daerah ala Kolombia menghasilkan kekuasaan yang teramat besar di tangan kepala daerah namun celakanya dengan minimnya kapasitas dalam mengelola daerahnya. Implikasi yang terjadi adalah melembaganya aktor-aktor (baca : elit) daerah menjadi ”penguasa” yang menghegemoni masyarakat di daerahnya sendiri. Praktek politik-ekonomi ber-asaskan ”kekeluargaan” pun adalah pil pahit yang mesti di telan oleh masyarakat daerah tersebut.
Sedangkan otonomi daerah ala Argentina menghasilkan pemerintah daerah yang memiliki kapasitas yang ”mumpuni” dalam mengelola daerahnya. Walaupun diawal-awal terjadi penyesuaian-penyesuaian yang melelahkan, pada akhirnya pemerintah daerah yang otonom dapat terbentuk dengan efisien serta fungsi mendekatkan kesejahteran kepada masyarakat di level lokal pun secara gradual dapat di terjemahkan ke dalam langkah yang praksis.

Celakanya, Indonesia mengikuti skenario otonomi daerah ala Kolombia. Menarik garis ke konfigurasi dinamika politik pembentukan daerah, desentralisasi yang di awali dengan pelimpahan kuasa serta ”dana” cenderung terlihat mengemuka yang menarik gerbong ”elit” secara massif bergulat dalam proses tersebut (pembentukan daerah). Sejatinya ketika mimpi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat itu benar-benar menjadi harapan entitas politik bangsa, maka sebenarnya skenario politik desentralisasi ala Argentina lah yang mesti di ikuti. Desentralisasi administratif secara genuine dapat mendekatkan pelayanan publik pada level terdekat masyarakat. Kebijakan desentralisasi yang di awali dengan desentralisasi administratif juga akan ”mendewasakan” struktur birokrasi di level daerah, sehingga nantinya aparatur pemerintah daerah memiliki kapasitas yang baik dalam mengelola daerahnya baik dalam konteks distribusi wewenang maupun perihal penganggaran bagi alokasi dana program-program kebijakan pembangunan daerahnya kelak.

Struktur Kebijakan yang Elaboratif Kontekstual
Dalam masa desentralisasi yang prematur saat ini, memang tidak mudah mereposisi maupun meredefinisikan peranan antara pusat dan daerah. Ini tidak terlepas dari hegemoni memory sentralistic yang berhasil diterapkan oleh rezim orde baru. Sehingga relasi yang harmonis masih dalam proses pencarian yang konsepsional.
Setidaknya terdapat beberapa langkah guna mensukseskan rezim desentralisasi ini, seperti penulis nukil dari elaborasi Agus syamsudin (2003: 32) yakni :
Pertama, Self regulating power berbicara mengenai bagaimana pemerintah daerah mesti memiliki kapasitas yang mumpuni dalam melaksanakan otonomi daerah bagi kesejahteraan masyarakat didaerahnya. Ini ber-implikasi bagaimana pemerintah daerah dituntut untuk membuat regulasi yang kompetitif dan berwawasan kesejahteraan rakyat dalam setiap perumusan kebijakan baik itu dalam aspek politik, ekonomi sosial dan lainnya.

Kedua, Self modifiying power mengingatkan pemerintah daerah untuk kreatif dalam mentransplantasikan kebijakan nasional ditataran daerah. Beberapa aspek seperti hukum, yang diatur oleh pemerintah pusat mesti dikreasikan sesuai dengan kultur didaerahnya. Tidak mesti seragam, namun sesuai dengan nuansa kebatinan masyarakat didaerahnya. Seperti peraturan mengenai hukum positif, tidak mesti seragam an sich dengan pemerintah pusat, bisa dikreasikan dengan hukum yang normatif didaerahnya. Bisa disebut hibrid laws atau memposisikan hukum positif negara dengan hukum normatif didaerahnya. Misalnya dengan kasus hukum syariat islam yang telah dipraktekkan dibeberapa daerah misalnya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Ketiga, Local political support aspek ini berbicara mengenai otonomi daerah yang gemilang mesti mengacu pada upaya penguatan peranan dari masyarakat. Dalam konteks ini bisa disebut sebagai legitimasi politik yang kuat dalam menjalankan kebijakan. Baik itu eksekutif daerah maupun DPRD mesti mengikutsertakan partisipasi publik yang seluas-luasnya guna menjamin stabilitas didaerahnya. Ini di tempuh dengan membuka sseluas-luasnya akses bagi masyarakat dalam memantau setiap content agenda kebijakan pemerintah daerah. Ke empat, Financial resources mengertikan kepada kita semua bahwa daerah mesti mengembangkan kemampuan dalam mengelola serta mengkreasi sumber-sumber pemasukan keuangan daerahnya. Ini penting karena program pembangunan daerah mesti didukung oleh sumber keuangan daerah yang solid.

Sedangkan yang terakhir yakni developing brain power yang menitikberatkan kepada pembangunan bukan hanya bersifat infrastruktur namun juga mesti menguatkan pembangunan suprastrukturnya yakni manusia-manusia yang knowledegable. Karena SDM yang berkualitaslah yang akan berperan penting dalam pembangunan didaerahnya. Ini dapat di tempuh dengan penguatan alokasi bagi anggaran dana pendidikan di daerah, pelatihan-pelatihan formal maupun non formal dalam meng-create keterampilan mereka, menyediakan instrument pendukung peningkatan mutu pendidikan dan lainnya. Sehingga ke depan lahir generasi masyarakat yang memiliki kapasitas yang berguna bagi pengembangan daerahnya.

Apabila stimulus diatas di implementasikan, daerah otonom akan menjadi role model pemerintahan yang dibidani oleh agregasi varian partisipasi masyarakat, serta melahirkan pemerintahan yang partisipatif dan tentunya dalam setiap agenda kebijakannya tiada lainnya adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Tanpa itu semua, otonomi daerah hanya akan sekedar konsepsi using serta mimpi disiang bolong. Waallahu a’alam.

Referensi

Agus Ayamsudin. 2003. Meninjau Kembali Konsepsi Politik Desentralisasi. Gema Press
Harold Crouch. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Sinar Harapan
Leo Agustino. 2007. Perihal Ilmu Politik : Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Graha Ilmu

Mereduksi Superioritas Ke-sukuan dalam Wacana Kepemimpinan Nasional

“Sejarah adalah milik penguasa”, begitulah kira-kira adigum yang sering kita dengar. Sejarah direkonstruksi dalam kaitan sebagai legitimasi kekuasaan maupun hegemoni kekuasaan suatu rezim pemerintahan yang berkuasa. Rezim orde baru contohnya, selalu membesarkan peristiwa-peristiwa sejarah dimana Soeharto adalah lakon utama peristiwa sejarah tersebut. Serangan Umum 11 Maret, G-30 S PKI, serta lainnya merupakan upaya rezim soeharto dalam mengukuhkan hegemoni kepahlawanannya di benak rakyat Indonesia. Selain itu, superioritas kesukuannya pun kerap di bangun dengan instrument pendirian monument, patung, gelar kepahlawanan, yang sebagian besar dibuat untuk persona pahlawan yang berasal dari suku jawa. Hingga kini warisan pemikiran orde baru mengenai visi pemimpin bangsa masih menjadi ukuran yang relevan untuk diyakini, dengan doktrin mimpi Prabu Kediri, Jayabaya “Notonegoro”, bangsa ini (dibuat) yakin, negeri ini mestilah harus dipimpin oleh penguasa yang berasal dari suku jawa, diluar itu, cukup hanya menjadi wakilnya. Lihatlah catatan sejarah (yang biasa di bakukan dalam kurikulum sejarah di institusi pendidikan) presiden yang pernah memimpin Negara republic Indonesia dari sejak Soekarno hingga kini SBY mereka adalah persona yang berasal dari suku jawa. Bahkan Habibie yang memerintah dalam masa transisi reformasi menuju pemilu 1999 yang notabene berasal dari pare-pare Makassar, diasosiasikan pula dengan trah jawa yang darahnya berasal dari ibundanya yang berketurunan Jawa.

Bangsa ini sebenarnya banyak melahirkan manusia-manusia “besar”, yang turut memiliki andil dalam membidani terbentuknya Republik Indonesia tercinta ini. Bukan hanya Soekarno, Sudirman, Diponegoro atau bahkan Soeharto, melainkan juga Tan Malaka, Amir Syarifudin. Syahrir, Cut Nyak Dhien, Natsir serta banyak yang lainnya. Dalam catatan sejarah kemerdekaan bangsa ini, peran mereka selalu dipinggirkan dan dikecilkan, baik oleh karena pendiriannya (pemikirannya/ideologi), bukan ke-jawaannya, maupun karena gerakan oposisi yang mereka lakukan terhadap pemerintahan “Jakarta” pada waktu itu. Terlepas dari perbedaan perspektif berfikir terhadap kemajuan bangsa ini maupun ideology yang mereka “imani”, mereka juga mempunyai mimpi serta cita-cita yang secara substansi sama dengan para founding father (mother?) lainnya tentang visi kemajuan Republik ini di masa depan. Salah satu persona (sosok) besar yang turut memiliki andil besar terhadap keberlangsungan republik ini, yang sering dilupakan catatan sejarah ialah Syafrudin Prawiranegara.

Syafrudin Prawiranegara, pria kelahiran Banten 28 februari 1911-15 februari 1989 yang kadang dikira berasal dari Sumatera Barat (walaupun terdapat darah minang juga), memiliki peran besar dalam menyambung “nafas” eksistensi Republik Indonesia. Buyutnya adalah Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat yang dibuang ke Banten karena perang paderi. Lalu kemudian menikah dengan putri bangsawan Banten, Lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama Raden Arsyad prawiraatmadja. Seorang jaksa yang dekat dengan rakyat, hingga akhirnya beliau pun dibuang oleh Belanda dari Banten.

Sejarah pernah mencatat, berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) entitas pemerintahan sementara di Bidar alam, Sumatera Barat, ketika terjadi agresi militer Belanda ke 2 di tahun 1948. Berdirinya PDRI amatlah penting dalam konteks menghindarkan terjadinya “vacuum of power”, ketiadaan pemerintahan yang berdaulat di wilayah Indonesia. Ketika itu Jogja maupun Jakarta beserta para elit pemimpinnya, baik itu Soekarno, Hatta, Syahrir dan lainnya telah “dikuasai” Belanda. Ketiadaan pemerintahan yang berdaulat amat membahayakan karena dapat membuat “arus balik” simpati dunia international terhadap eksistensi Republik Indonesia. Belanda memang sengaja bertujuan untuk membuat dunia internasional (dengan adanya agresi) melihat bahwa tidak adanya pemerintahan yang berdaulat di wilayah Indonesia, sehingga wajar bagi mereka untuk tidak berunding di PBB dan kembali memasukkan wilayah Indonesia kedalam wilayah kerajaan Belanda. Atas usaha pemerintah daruratlah, Belanda dengan terpaksa berunding dengan Indonesia, yang akhirnya Soekarno-Hatta serta pemimpin lainnya dibebaskan dan kembali ke Jogjakarta.Di sinilah peran penting terbentuknya PDRI, guna menyelamatkan “sakaratul maut” Republik ini, menghindarkan Belanda untuk dapat meyakinkan dunia international atas tindakannya dalam menganeksasi wilayah Indonesia, dan Syafrudin Prawiranegara seorang Putra asal Banten dan bukan “keturunan Jawa” adalah penggagas sekaligus Presiden/Ketua dari pemerintahan darurat ini.

Dalam konteks diskursus kepolitikan menjelang pemilu saat ini, wacana “kedaerahan” sudah seharusnya di tanggalkan. Siapapun mereka yang akan menjadi pemimpin bangsa ini,-terlepas dari suku mana ia berasal- masyarakatlah yang menjadi penentunya. Yang sudah sepantasnya untuk dikedepankan adalah proses politik nanti mestilah melahirkan pemimpin yang meiliki kapasitas dalam mengelola Negara ini kearah yang lebih baik. Krisis financial global, menjalarnya praktek korupsi ke berbagai tingkatan lembaga pemerintahan, rekonsiliasi nasional, ancaman asing terhadap wilayah perbatasan terluar republik ini serta agenda penting lainnya adalah tugas yang amat berat dan amat dangkal apabila kembali dipusingkan dengan wacana pemimpin yang mesti berasal dari Jawa. Sejarah sudah membuktikan bahwa figure pemimpin bangsa tidaklah dimonopoli oleh 1 golongan atau suku saja, akan tetapi tergantung konteks latar sejarah serta keinginan masyarakat itu sendiri.

Sudah seyogyanya kehendak politik diserahkan kepada masyarakat, biarkan masyarakat melalui mekanismenya sendiri menentukan figur-figur pemimpin bangsa yang nantinya akan memimpin bangsa ini. Masyarakat juga sudah saatnya jeli dalam mengkomparasi janji-janji bakal calon pemimpin bangsa ini kedepan. Jangan sampai terbuai oleh janji-janji kosong yang pada akhirnya masyarakat hanya di jadikan komoditas politik yang murah. Untuk itu, masyarakat janganlah terjebak kepada pandangan politik yang sempit, yang melihat persona pemimpin dari kaca mata kedaerahan, relasi produksi, dikotomi sipil-militer, dan lainnya. Pilihlah pemimpin-pemimpin bangsa ini ke depan dengan bersandar kepada kapasitas kepemimpinannya, jejak rekam kepemimpinannya, integritas moralnya serta tidak lupa visi dan misinya dalam membawa perubahan kepada nasib bangsa ini ke depan. Apabila semua itu berjalan dengan baik, konsolidasi demokrasi kita akan harmonis serta menuju kepada tatanan yang berkeadilan dan mensejahterakan semua aspek bangsa. Wallahu a’lam

Jumat, 13 Februari 2009

Kesadaran yang ambigu…..

Suatu hari seorang teman bertanya dengan penuh kesan ke-akuannya “apaseeh… idealisme itu?” heeran...sekarang kata itu seakan penuh dengan pernyataan ‘make a stand different with the other’, kebanggaan, tumpahan caci makian atas prilaku amoral mental disekeliling (politis kepentingan), caci maki atas system dinegeri ini yang udah emang usang n’ kudu diberangus ama tatanan yang emang udah kodrati and…..ah ga cukup ditulis disini coz omongannya buanyak banget kya nene2 lg transaksi bikin gigi kawat dipuskesmas,ampe ga bisa gw cerna but coz gw dah terlatih ngedengerin berita sergap di tv jdnya bisa ambil benang merahnya deh, so what’s up babe! here there are with my opinion….

Secara etimologis kata idealisme dibedah menjadi 2sub pokok pengartian yang lain yakni ideal ato ide yang berarti segala sesuatu hal yang merupakan produk dari olah pikir yang rasional dan pas, cocok, sesuai dgn kesejatian diri kita n’ lainnya da poko na mah reseup wae lah,sedangkan –isme ialah paham, ajaran, pandangan beserta nilai2 yang mendasarinya dan sifatnya yang mengikat so idealisme ialah suatu paham atau ajaran n’ juga pandangan or ide (bagian dari pada ideologi tertentu) terhadap realitas hidup yang sesuai, cocok, pas, dengan integritas moral kita sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki akal sehingga tahu mana yang benar n’salah n’ itu sifatnya mengikat dalam artian NO COMPROMISE dengan segala hal yang tidak sesuai atau bertolak belakang dengan pendirian kita (our stand) n’siap terhadap segala konsekuensi akibat sesuatu yang kita perjuangkan melalui idealisme kita tadi. Waduhh....berat banget !! apa bisa hal kya gitu bisa diimplementasiin dikehidupan nyata gw seh sangsi tuch ! but antum bisa ga jelasinnya lebih spesifik lagi coz yang jadi pertanyaan gw sekarang,ana berjuang hidup itu untuk siapa...?

waduh jadi panjang neh ngejelasinnya nanti gw jd so pinter lg (aku berlindung kepada Allah tuhan maha kuasa dari sifat ujub, riya n’ lainnya) harus robah posisi neh supaya pewe’, gini neh say’ (sapa lo..) pertama, siapa sih kita ini ? ngapain seh kita hidup ? yang kata para filsuf mah hidup ini absurd,kieu2 wae...and nti neh klo kita kontrak hidupnya dah abis,mau kemana seh kita ini ? ayo coba tebak.....! aduuuh....pusiang banget seh ko nanya idealisme ampe nyasar ke kontrak hidup segala pabalieut amat gw kan pengen tahu ko malah ditanya balik, emang gw mah pentium 2 abis garansi lg so jelasinnya yang simple napa.. !

Yo weish sekarang listen to me carefully...kita itu adalah manusia makhluk ciptaan Allah yang diberi akal guna meredam nafsu yang juga ada pada diri kita (pokona mah kita makhluk yang sempurna lah) juga khalifah dimuka bumi yang menjaga tatanan hukum Allah dibumi ini, tugas kita hidup selain manjadi khalifah (pengganti/pemimpin) dibumi adalah untuk melaksanakan segala perintahnya dan meningggalkan segala larangannya “Tidak ku ciptakan jin dan manusia selain hanya untuk beribadah kepada-Ku” selain pemenuhan materi dalam hidup kita juga harus memperhatikan kaidah aturan Allah guna apa yang kita lakuin itu sesuai gak dengan aturan yang udah ditetapin ama Allah supaya kita ini bukan hanya selamat didunia tapi juga diakherat kelak,lalu mau kemana kita setelah koit alias mati ? nah kita harus percaya akan adanya alam lain setelah kita habis masa kontraknya didunia ini yakni alam akherat yang kekal yang disana kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang udah kita perbuat waktu kita hidup didunia, nti abis ditanyain ama malaekat udah deh itu mah hak preogratif Allah apa kita masuk ke surga pa kita trapped dineraka tempat gojlokan dosa. Lalu hubungan dengan idealisme itu apa...? ntar dulu...nyerobot aja kya kereta api makanya dengerin dulu, deskripsi diatas adalah hakekat hidup manusia, makhluk Tuhan yang paling mulia lebih mulia dari pada malaekat apa lagi si iblis bangsat beserta kroni2nya dan itu bisa terlaksana apabila setiap apa yang kita lakuin yang tentunya perbuatan baik itu harus berorientasi kepada pemenuhan kewajiban kita sebagai makhluk Allah.

Masih blom ngerti...? kita terusin deh, kita hidup itu melalui beberapa fase, dari bayi hingga menjadi tua dan akhirnya koit deh, nah klo ntu fase dalam hal jasmaniah beda dengan fase pemikiran yang kata seurang bijak mah “menjadi tua itu pasti tapi menjadi dewasa itu pilihan” artinya menjadi tua itu pasti karena itu sudah menjadi ketetapan Allah (sunnatullah) sang pencipta namun menjadi dewasa itu adalah bukan pasti alias absurd tergantung pilihan lo sendiri mau menjadi dewasa secara pemikiran atau hanya mau bersikap apatis terhadap segala perubahan yang ada disekeliling atau hanya sekedar pendewasaan alat reproduksi belaka..?,nah klo fase perubahan kesadaran berfikir itu melalui empat fase :

Kesadaran naif yaitu tahap dimana seorang hanya bersikap acuh tak acuh terhadap segala perubahan yang terjadi disekelilingnya. Life’s still going on, what the f%$k about everything Da pokona mah apatis, skeptis n pesimis lah...
kesadaran kritis yakni suatu tahap dimana kita udah tahu atau perduli terhadap ketimpangan disekeliling tapi ada kurangnya nih, pada tahap ini seorang ntu bisanya ngritik doank,kritis gitu (kya dah sakit n’ muak ma penindasan jdnya kritis) tp ga punya solusi atas apa yang dia kritisi atau dengan kata laen dy Cuma bisa nunjukkin salahnya tapi ga bisa nunjukkin jalan keluarnya.

kesadaran aktif dimana pemikiran seseorang dah mengalami progress yang signifikan, artinya da peningkatan luar biasa pada daya nalar dan rasio serta analisis yang mendalam terhadap suatu masalah. Pada tahap pemikiran ini,seorang tersebut bukan hanya bisa menunjukkan kesalahan yang mengakibatkan masalah ntu terjadi tapi juga dy dapat menunjukkan solusi atau jalan keluar dari masalah tersebut. Namun, dlam tahap ini penggugah atau stimulus maupun orientasi seseorang tersebut hanya berkisar dari dorongan lingkungannya dan dy kaga tau nih tujuan akhir dari pemikiran dy atau dalam kata lain hanya sebatas pemenuhan akan tuntutan rasionalisasi dirinya (kebutuhan pengakuan diri), klo kata ustd jeffry mah kekeringan dahaga spritualisme yang ujung-ujungnya bisa nimbulin pengingkaran atas kewajibannya yang bukan hanya “hablumminannas” melainkan juga mesti “hablumminallah”.

kesadaran transendental yakni suatu tahap dimana kesadaran manusia sudah menemui makna akan hakekat tujuan dari pada hasil olah atau produk pemikirannya. Dalam tataran ini, selain analisis masalah yang mendalam seorang tersebut telah dapat mengaplikasikan hasil olah produk pemikirannya atau kesadarannya yakni selain pemenuhan akan eksistensi dirinya, masyarakat atau lingkungannya serta yang paling pokok ia sadar akan pemenuhan yang paling sejatinya yakni sebagai manifestasi dalam rangka kesadarannya akan pemenuhan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan yang serba terbatas dimata Tuhan. Stimulus atau penggugah dari tahap kesadaran ini ialah kesadarannya akan pengagungan dirinya terhadap eksistensi Tuhan. Artinya, segala produk dari kesadaran ini ialah semata – mata ialah untuk “beribadah” kepada Tuhan. Ia menafikan akan eksistensi atau pengakuan akan dirinya ditataran masyarakat ( Ga pengen cari muka gitu...) Dalam tahap kesadaran ini, ia berhasil memadukan akan 3 tingkat kecerdasan yakni IQ, EQ dan SQ. Elaborasi dari daya nalar plus rasionalisasi ditambah manajemen egonya plus dibingkai dengan nilai-nilai religi, kentara sekali acap kali dalam menganalisis sebuah masalah. Yang outputnya menghasilkan sebuah produk pemikiran yang orisinil, tajam plus tidak keluar dari kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan baik itu oleh norma atau tata nilai masyarakat maupun yang paling pentng norma atau kaidah agama.

Nah..ditahap terakhir inilah yang sejatinya merupakan sebuah idealisme yang konstruktif dan mengandung nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan norma atau etika masyarakat. Ngerti ga...? mmmmm...gimana yah ? ee’eh...taapi berarti seorang atheis atau yang simplenya nih, seorang koruptor ga bersalah dong karena itu idealisme mereka, itukan merupakan atau dianggap hal yang ideal bagi mereka dan mereka berhak dong No compromise dengan individu2 yang bertentangan dengan pendirian mereka...? u’uh dasar o’on nih, gene neh say....emang kadang ada yang menjustifikasi perbuatan yang dilakukan seorang atheis n’ isme2 yg lainnya yang bersifat matrealisme maupun koruptor adalah bagian dari idealismenya namun itu baru dalam tataran hal yang ideal bagi dirinya dan belum tentu ideal diluar dirinya..kan udah dkasih tau bahwa idealisme itu bukan hanya bergerak dalam tataran terminologi ideal namun juga bergerak pada tataran nilai-nilai kesejatian manusia dan masyarakat. Sehingga korupsi maupun paham atheis itu bukan merupakan idealisme yang sejati, maupun paham2 ataupun pandangan tertentu yang sejenis yakni hanya bergerak dalam tataran terminologi ideal, jelas ntu bukan sebuah idealisme yang hakiki. Sebuah idealisme yang hakiki ialah sebuah pendirian yang mengikat yang tidak hanya memperhatikan nilai-nilai egosantris pribadinya namun juga nilai-nilai yang ada dimasyarakat terutama nilai-nilai yang menunjukkan kesejatian kita sebagai makhluk Tuhan yang sempurna yang memiliki akal sehingga mampu membedakan mana yang haq dan mana yang bathil...

Nah kalo menurut gw nih mereka yang menekuni profesi sebagai koruptor maupun simpatisan paham2 seperti atheis n’ lainnya yang berdasar atas asas ideal semata itu bergerak dalam tataran kesadaran yang ambigu...artinya dalam behavior mereka sendiri tejadi pertentangan yang tajam antara nuraninya dengan egosentrisnya yang disebabkan tingkat kesadarannya yang ambigu ataupun tidak punya landasan pijakan yang benar2 hakiki atas pendiriannya tersebut dan juga hal tersebut bertentangan dengan nilai2 atau norma yang berlaku di lingkungan masyarakat apalagi agama....dah ngerti...? siap bozzz,dah ngerti banget ! nah, pesen gw kita nih, akan tetep melalui tahap2 proses kesadaran seperti diatas, entah kita bergerak di tataran kesadaran yang mana yang penting jangan bergerak dalam tataran kesadaran ambigu tersebut, U harus yakin akan U punya nilai2 kesejatian diri yakni nilai2 agama jangan ditinggalin. Karena pada dasarnya segala perbuatan, tingkah polah, pola pemikiran maupun produknya ialah semata-mata sebagai pemenuhan ibadah kita kepada Allah Tuhan kita semua..... dah deh gw dah cape nih laen kali Qt terusin ok....
Yoo weish thankz bangetz yazzzz...........

By Ndunkz @ 2005
Dipublikasikan dalan Buletin Himpunan Administrasi Negara Vol I.
Ter-inpsirasi lewat obrolan nan lugas dengan seorang mahasiswi seangkatan ku yang katanya sih seorang yang idealis.

Referensi :
Budiman, Arief. 1992. Terminologi Idea Dalam Tataran Pergerakan Sosial : Suatu Study Awal. Jakarta : Sinar Harapan
Marcuse, Herbert. 1984. How To Understanding Plato scince. Australia : Penguin Press
Trilaksono, Agusti. 1998. Keberadaban Logika Tuhan. Surabaya : Insan Bumi Press

Kharismatic Leadership Dalam Perspektif Filsafat Akar Tradisi Jawa Dalam Pola Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono

Menjelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) di 2009 nanti, discourse mengenai pencarian akan kepemimpinan Indonesia yang ideal semakin gencar diadakan. Ini tidak terlepas dari geliat perubahan yang di ingini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik dari segi perubahan makro maupun mikro ekonomi, politik, social budaya dan lainnya. Ini penting dalam pandangan masyarakat kebanyakan karena seperti yang diutarakan John terry bahwa kpemimpinan adalah ruh dari organisasi. Pergerakan, tumbuh kembangnya organisasi tergantung dari pola kepemimpinan yang akan atau sudah dibangun.

Tradisi jawa dalam pola kepemimpinan di Indonesia peranannya amat berpengaruh. Ini tidak terlepas dari tongkat estafeta kepemimpinan yang didominasi oleh mereka individu yang berasal dari suku bangsa jawa. Dari awal Soekarno hingga kini di era Yudhoyono, praktek-praktek pola kekuasaan raja jawa masih tercitra walau secara implisit. Kesan yang ditimbulkan adalah superioritas Kepemimpinan ras jawa diatas lainnya.

Ada pendapat menarik yang penulis nukil dari bukunya Dennis Lombard yakni Nusa Jawa, ia mengutarakan secara eksplisit bahwa pola kepemimpinan raja jawa bersifat reborn not made, dalam perspektif filsafat bersifat anugrah langsung dari Tuhan. Ini penting karena dalam perspektif Raja jawa, kepemimpinan adalah hak dewa yang kemudian terepresentasikan kepada dominasi raja jawa dimuka bumi sebagai wakilnya. Raja sebagai khalifah (istilah dalam islam) mesti diakui dan dipatuhi setiap perintah dan perkatannya baik yang secara eksplisit maupun implisit karena ini semata-mata merupakan perintah dewa. Raja jawa mesti memiliki pancaran aura kewibawaan, karena dengan memilikinya berarti kepemimpinannya dirahmati oleh Tuhan. Dalam pendekatan kepemimpinan kontemporer saat ini pancaran aura kepemimpinan tersebut di istilahkan sebagai kharisma. Yudhoyono memiliki syarat yang disebutkan diatas.

Tradisi pola kepemimpinan di Indonesia selalu saja mesti diasosiasikan dengan akar budaya jawa. Mungkin bangsa ini yakin akan ramalan Jayabaya. Seorang raja Kediri yang meramalkan bahwa nusantara dalam kurun 7 generasi akan dipimpin oleh seorang pemimpin yang berasal dari darah trah kerajaan jawa, Notonogoro. Ini terjadi ketika baik Soekarno hingga Yudhoyono menjadi presiden, mereka selalu mengasosiasikan dengan akar trah jawa, baik dari garis keturunan surakarta, solo maupun mataram kuno. Yudhoyono dalam ramalan Jayabaya merupakan trah atau generasi ke 3 dari estafeta kepemimpinan raja jawa dinusantara.

Dalam perspektif teori kepemimnan kontemporer, tipe kepemimpinan kharismatik ada yang memang bawaan dari keturunan atau lahiriah, ada yang dibentuk dari lingkungan sosial dimana ia berada. Namun sebagian besar pakar sepakat bahwa tipe kharismatik semata-mata didapatkan dari faktor keturunan atau garis darah. John Maxwell (1987 : 37) contohnya ia berpendapat memang kharisma bisa didapatkan baik melalui ilmu yang dimilikinya maupun karena faktor fisiknya, namun secara genuine kharismat didapat melalui faktor keturunan atau garis trah darah. Perdebatan semakin mengemuka tatkala Yudhoyono mengasosiasikan dirinya dengan trah keraton surakarta. Jelas ini merupakan usaha dirinya guna mendapatkan legitimasi batiniah dalam memimpin Nusantara.

Sikap SBY yang low profile, merupakan bentuk dari sikap jawa yang mengutamakan perenungan batiniah dalam bersikap. Dalam tradisi jawa, perenungan atau Theorya dalam bahasa Plato, memang amat diutamakan baik pemegang kekuasaan dijawa maupun lainnya. Perenungan atau kontemplasi merupakan upaya pemimpin dalam berkomunikasi dengan dewa atau Tuhan sebagai penasehat batin dalam memecahkan setiap persoalan.
Patut kita cermati nanti apakah Yudhoyono semakin menguatkan praktek-praktek ke-jawaannya ditahun 2009, ini bisa dijadikan titik acuan bagaimana nantinya lagi ketika ia kembali memimpin Nusantara....

Sumber
Dennis Lombard, Nusa Jawa, 1989, Sinar Ilmu
John Maxwell, Becoming Influences Person, 1998, Penguin Press
Sumarsono, Pola kepemimpinan di Indonesia, 2002, Gramedia


Ndunkz@2007
Ditulis dalam rangka pengerjaan tugas mata kuliah kepemimpinan.
Selain itu sebenarnya penulis ingin mengelaborasi lebih lanjut, karena terus terang penulis tertarik kepada budaya kepemimpinan dijawa. Next time mungkin dilanjutkan.

Demokrasi dan Kehendak Politik Publik

Seperti yang telah dikenal luas, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang di introdusir oleh Montesquie seorang filsuf prancis abad pencerahan, dimana ia membagi (separation power) ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances

Isitilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan struktur politik suatu negara.
Tidak seperti sosialisme ilmiah - yang jelas-jelas dirumuskan oleh Thomas more, Saint simon, fourier dan Robert owen - agak sulit menemukan tokoh yang menggagas demokrasi secara final. Namun ada teori yang jelas-jelas mendasari konsep demokrasi modern, yakni teori kontrak sosial yang dirumuskan oleh John Locke (1632 - 1704). Walau pun John Locke tidak pernah menyebut kata demokrasi secara eksplisit, tapi paling tidak teorinya memberi konsep dasar tentang kedaulatan rakyat dan konsep negara hukum (Budiarjo, 2004).

Konsep kedaulatan rakyat sebenarnya merupakan tanggapan Locke terhadap lingkungan politik yang mengelilinginya pada saat itu, yaitu kondisi Eropa pada Abad XVII. Saat itu, dogma yang menyatakan bahwa kedaulatan merupakan pemberian dari Tuhan kepada seorang raja (divine right of king) masih dijadikan asas dalam melegitimasi kekuasaan monarki absolut di Eropa. Ketaatan kepada raja dianggap sebagai konsekuensi iman dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari praktek keagamaan. Locke membantah dogma ini dengan menyatakan bahwa kedaulatan bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan. Untuk menopang pernyataannya itu dia melakukan pembuktian dengan menelesik asal-usul terbentuknya institusi politik (Schmandt, 2002). John Locke menjelaskan asal-usul terbentuknya institusi politik dengan melakukan hipotesa terhadap perkembangan kehidupan sosial manusia mulai dari fase sebelum terbentuknya institusi politik. Untuk itu, dia terpaksa harus menggambarkan keadaan alamiah manusia (state of nature). Keadaan alamiah adalah keadaan asal mula manusia yang asli, sebelum ada rekayasa sosial apa pun, termasuk pembentukan negara.

Menurut Locke, pada dasarnya manusia adalah individu yang bebas. Dalam keadaan alamiah -atau asli- masyarakat merupakan sejumlah manusia yang hidup bersama dengan kehidupan individual masing-masing. Manusia tidak disatukan oleh apa yang disebut dengan kepentingan bersama. Mereka semua merupakan manusia yang sederajat dan hidup merdeka tidak di bawah kekuatan superior apa pun. Dengan begitu dia tidak melihat hubungan antar manusia sebagai suatu unit organisme (tubuh) sosial yang bukan lagi sekedar kumpulan manusia, seperti halnya yang dipahami oleh Marx, Hegel atau Plato.
Demokrasi merupakan manifestasi sistem pemerintahan yang oleh Abraham Lincoln – tercatat selain sebagai tokoh pendukung gagasan demokrasi, juga merupakan mantan Presiden Amerika yang menghapus segala jenis perbudakan kulit hitam di Amerika – di wujudkan dalam siklus pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan semata-mata guna kepentingan rakyat. Salah satu ciri efektivitas demokrasi adalah adanya kesempatan bagi masyarakat atau publik untuk menentukan pejabat publik, termasuk pada tingkat lokal melalui mekanisme Pilkadal serta pada tataran nasional melalui mekanisme pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik. Berdasarkan konsep ini bahwa sebuah pemerintahan bisa dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat atau publik dengan cara yang terbuka dan jujur. Seperti apa yang pernah diutarakan Plato perihal demokrasi, adalah memperjuangkan persamaan derajat dan hak untuk mengambil suatu keputusan. Negara yang demokratis memang harus "penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara. Setiap orang dapat menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya."

Demokrasi dan Kehendak Politik : Suatu Ekspetasi Awal
Meminjam istilah dari Ahmad Sahal, seorang Doktor filsafat politik lulusan New York University, ia menyebutkan bahwa inti demokrasi ialah freedom to vote and voted, suatu kebebasan dalam beraktifitas politik baik itu dalam aktifitas memilih maupun dipilih dalam konteks aksi politik praksis. Ini seakan mengamini kelakar plato seorang filsuf yunani klasik, yang menyebutkan manusia semata-mata merupakan homo politicus, manusia yang selalu dipenuhi naluri maupun hasrat untuk memenuhi kepentingan atau akan selalu bergelut dengan aktifitas yang berkaitan dengan eksistensi mereka. Untuk itu lanjutnya, mesti ada suatu sistem yang menjamin sekaligus melindungi hak-haknya (private proverty) sebagai homo politicus dalam konteks setiap laku politik yang ia perbuat. Namun, sistem tersebut juga harus menjamin bahwa hak-hak individu tersebut tidak mencederai hak-hak politik swa masyarakat politik lainnya. Dalam menjawab pertanyaan sekaligus tantangan tersebut, Ian Shapiro seorang guru besar ilmu politik dari Yale University menjawab bahwa hanya demokrasilah yang bisa menjwab persoalan-persoalan pelik kehendak politik masyarakat.

Melihat elaborasi dari beberapa tokoh diatas, jelas demokrasi menjamin kehendak setiap individu dalam melakukan atau sekedar berpartisipasi dalam aktifitas politik. Demokrasi tidak mengenal gender, strata sosial maupun pendidikan, usia dan sebagainya, demokrasi menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme publik dalam menentukan pilihan politiknya (dalam konteks Pilkada misalnya). Kehendak politik merupakan hak asasi yang bahkan dalam dogma agama pun dilindungi, walaupun membatasinya dengan kecakapan serta tingkat intrepetasinya terhadap hukum Profan Tuhan. Namun dalam prinsipnya, setiap persona individu, berhak dan wajib dalam ikut serta berproses politik. Ini penting karena legitimasi politik kebijakan akan menguat serta berdaya guna manabila partisipaasi politik publik itu massif digalakkan.

John Rawls dalam essainya (1956 : 23), mengatakan bahwa suatu tatanan sistem itu dapat dikatakan adil atau melindungi segenap hak citizen ship manabila terpenuhinya dua aspek yakni : pertama, tatanan itu harus menjamin agar setiap orang punya hak yang sama dalam merealisasikan potensi-potensi dirinya, seperti hak berserikat dan berkumpul, hak aspirasi politik, berpendapat dsb. Kedua, ketidak samaan itu dibolehkan asalkan yang diuntungkan adalah orang-orang yang terpinggirkan (marjinal atau disadvantage). Meminjam dua postulat dari John Rawlz, maka kita bisa berasumsi bahwa politik yang ideal adalah kebebasan berpolitik dalam konteks memilih atau dipilih, seyogyanya diserahkan kepada mekanisme publik. Publik sebagai basis otonomisasi politik demokrasi, akan memakai mekanismenya sendiri dalam menentukan figur publik yang akan di jadikan pemimpin mereka. Namun kita juga jangan terjebak oleh asumsi yang menggeneralisasi bahwa publik itu pasti dapat dibodohi, asumsi tersebut menurut penulis sesat serta menyesatkan. Dalam konteks mekanisme publik, publik dalam perspektif pluralis merupakan agregasi dari berbagai latar belakang, multi brain kalau boleh meminjam istilah dari jalaludin rahmat. Oleh karenanya biarkan publik untuk berkohesi sosial dan politik, biarkan publik ber”mekanisme politik” secara mandiri, justru itu menurut penulis yang akan mendewasakan publik dalam konteks demokrasi politik.

Dikotomi Golongan Muda Vis-a-Vis Golongan Tua
Fazlur Rahman, seorang aktivis 98’, berujar bahwa sudah saatnya generasi maghribi (ia mengasosiasikan istilah senja, magribh istilah dalam waktu islam untuk menyebut generasi tua) lengser dari tatanan politik bangsa, sudah saatnya generasi-generasi muda menggantikan generasi tua yang penuh lumuran dosa tersebut. Ia berasumsi bahwa keadaan indonesia yang pasca reformasi semakin tidak menentu ini diakibatkan oleh masih bercokolnya kekuatan-kekuatan generasi tua (generasi yang hidup dan dihidupi oleh orde baru) dalam tatanan kepemimpinan bangsa ini. Ia mensitir pendapat dari Samuel huntington (1987 : 43) yang menyebutkan bahwa untuk memperbaiki suatu kedadaan negara yang hancur karena masa lalu otoritarianisme serta absolutisme personal adalah dengan memangkas generasi serta menghidupkan nafas generasi sesudah orde tersebut. Ini mengamini pendapat bahwa dikotomi generasi mesti dilakukan serta di rivalkan antar kedua generasi tersebut.

Dalam konteks pembangunan demokrasi politik (ini penting karena indonesia pasca orde baru masih dalam tahap transisi menuju pembangunan demokrasi yang genuine) jelas ini merupakan hal yang perlu disikapi secara bijak. Demokrasi menjamin tidak mengebiri hak-hak sipil dalam berpolitik, dan fazlur Rahman juga sudah jatuh kepada idio kesalahan berfikir yang disebutkan oleh Jalaludin rahmat yakni dengan mudahnya menggenalisir setiap potret sosial politik, dalam konteks ini fazlur rahman menggenalisir setiap generasi tua direpublik ini diasosiasikan dengan rezim orde baru beserta dosa-dosanya. Bukankah sistem ketatanegaraan kita menjamin hak-hak sipil walaupun berbeda kebudayaan, ras, usia, gender dan seterusnya baik dalam batang tubuh UUD maupun dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 serta pasal 28 UUD 1945 ?.
Meminjam analogi dari Anas Urbaningrum Ketua bidang politik DPP Partai Demokrat, “buah yang matang dengan secara alami, manisnya akan lebih terasa dibandingkan dengan buah yang matangnya karena dikarbit atau melalui proses yang tidak alami. Buah yang alami lebih padat, terjamin vitaminnya serta awet masanya tidak mudah busuk, sedangkan buah yang matang prematur atau dikarbit, penuh dengan proses kimia yang jelas ada efek sampingnya, mudah busuk serta tidak berkualitas bila dicermati secara seksama”. Analogi diatas mungkin tepat dalam mengilustrasikan betapa dalam konteks politik merit sistem atau jenjang karier politik juga mesti diutamakan.
Generasi muda yang berkualitas mesti di dialektikakan oleh setiap perubahan, tantangan, serta proses sosial poltik sehingga pada waktunya nanti ia akan matang, berkualitas serta berdaya tahan lama dalam percaturan politik bangsa ini. Namun generasi muda yang dikarbitkan jelas tidak sehat, riskan akan kepentingan jangka pendek serta tidak menjamin kepemimpinannya akan bersih dari sortiran kepentingan tak berwujud.

Sudah seyogyanya kehendak politik diserahkan kepada publik, biarkan publik melalui mekanismenya sendiri menentukan gigur-figur pemimpin bangsa yang nantinya akan memimpin bangsa ini. Apabila semua itu berjalan dengan baik, konsolidasi demokrasi kita akan harmonis serta menuju kepada tatanan yang berkeadilan dan mensejahterakan semua aspek bangsa. Wallahu a’lam

Cinta dan harapan



Cinta, merupakan sebuah tema besar “big theme”, yang dari ihwal penciptaan manusia hingga kini bahkan hingga akhir nanti tidak akan pernah surut untuk di perbincangkan. Kedahsyatan Cinta dapat membuat manusia secara spontan serta reflektif menjadi seorang pujangga cinta. Di saat manusia di-mabuk kepayang-kan oleh pesona cinta, setiap perenungannya, bulir kata yang terucap bahkan diamnya selalu tertuju kepada yang di cinta. Desah nafasnya tidak pernah terhenti dari hembusan keagungan pesona cinta, hingga detak jantungnya selalu mendetakkan dentuman kasih kepada yang di cinta. Hanya ada dia, dia dan dia yang merasuki aliran darah dalam tubuhnya. Menjadi vitamin namun juga dapat menjadi candu hingga racun jingga yang meringkihkan ketahanan hidupnya. Sungguh daya pesona cinta tak terdefinisikan dan bahkan sebagian pujangga cinta menyebut cinta mampu memutarbalikkan logika, fakta dan realitas di benak ide manusia. Hingga francis bacon menyebut cinta membuat kebijaksanaan manusia luluh, adalah suatu ketidakmungkinan menurutnya, kebijaksanaan berjalan beriringan dengan cinta. Cinta mampu membuat manusia hampir tidak bisa berfikir secara rasional terhadap sebuah realitas, ketika cinta di-hadirkan dalam benak ide kebijaksanaan. Karena perspektif baik-buruk atau benar-salah “terlebur”, tergradasi oleh daya pesona aura cinta.

Karena cinta, Tuhan sudi untuk menciptakan semesta beserta segala isinya. Karena cinta pula, seorang ibu sudi untuk melalui proses melahirkan, walaupun mesti dilalui oleh rasa sakit yang amat sangat serta tak terperi. Seorang ibu tidak pernah berfikir, akankah anaknya nanti akan berbakti kepadanya, yang ia fikirkan adalah semata-mata keselamatan anaknya. Lewat cinta, shakesperre melalui roman romeo & julietnya menyampaikan pesan tentang kegetiran elegi cinta sepasang anak manusia dalam memperjuangkan kesejatian cinta. Sungguh Cinta bersifat universal, dimiliki oleh segenap umat manusia dan diperjuangkan ketika cinta bersifat nisbi serta terdegradasi oleh ketamakan nafsu manusia.

Al-kisah “Cinta” konon diciptakan oleh sang Maha Kuasa guna dipasangkan oleh naluri makhluk ciptaan-Nya juga yang di sebut dengan “nafsu”. Al-Musoddiq dalam essai singkatnya “An-nafs” menyebut nafsu sebagai makhluk yang bebal, setelah diciptakan mesti diredam agresifitasnya dengan dibenamkan di 7 dasar samudera semesta. Meskipun demikian, pembangkangannya masih kentara, untuk itulah rahmat Tuhan yang disebut “cinta” di atributkan pula kepada makhluk ciptaannya -manusia, guna meredam naluri ‘liar’ dari “makhluk” yang bernama nafsu. Jadi sungguh keliru lagi sesat, perspektif sebagian manusia yang menyebut cinta adalah nafsu, karena pada hakekatnya keduanya kontradiktif, saling bertentangan satu sama lainnya dan saling mendamaikan.

Disebutkan dalam liturgi agama samawi, salah satu rahmat Tuhan dari seratus rahmatnya kepada makhluk ciptaannya ialah cinta. Karena cinta makhluk memiliki belas kasih manifestasi dari belas kasih Tuhan kepada makhluknya. Karena cinta -rahmat Tuhan- harimau tidak akan pernah memangsa anaknya sendiri, karena cinta agresifitas naluri terdalam manusia di kendalikan, dan karena cinta keberlangsungan makhluk di alam semesta ini dapat berlangsung. Sudah banyak para filsuf yang coba mendefinisikan arti cinta, aristoteles misalnya, seorang filsuf Yunani yang mendefinisikan cinta sebagai sebuah kebajikan, mekanisme pengawal bagi manusia guna berlogika dalam menilai baik atau buruknya setiap tingkah polahnya bagi umat makhluk di sekitarnya. Kahlil Gibran, seorang romantisme abad pertengahan dalam setiap karya perenungannya selalu mengetengahkan keagungan cinta, baik itu dari kesukacitaan yang di hadirkannya maupun setiap penderitaan yang dihasilkannya dalam aktifitas ber-cinta. Bagi Gibran, cinta akan selalu indah dan mempesona apapun dan bagaimanapun akibat yang di timbulkan dari aktifitas ber-cinta tersebut. Kisah klasik adam dan hawa misalnya, menggambarkan betapa cintanya adam terhadap makhluk yang bernama hawa, membuat adam berani melanggar titah langsung Tuhan terhadapnya yakni menjauhi pohon Khuldi (disebut dalam mazmur sebagai pohon pengetahuan) yang berakibat terusirnya manusia dari sebuah tempat yang konon itu adalah surga. Mungkin benar apa yang dikatakan sebagian besar para pujangga cinta yang menyebut cinta pada titik yang ekstrem dapat memabukkan hingga menyebabkan manusia kehilangan kesadarannya ketika ber-ekstase dalam cinta.

Pendulum sejarah tidak pernah melewatkan keberartian cinta dalam setiap tragedy maupun hingar bingar sejarah manusia. Kisak klasik anak-anak Adam contohnya yakni Habil dan Qobil yang memperebutkan saudara perempuannya, hingga akhirnya karena dibutakan matanya oleh cinta, mampu membunuh saudaranya sendiri. Lalu kemudian tidak akan ada suatu gerakan fundamental yang meruntuhkan system aristokrasi eropa abad pertengahan yang disebut dengan revolusi Prancis, apabila raja Prancis ketika itu Louis XIV tidak dimabukkan cinta oleh Maria Antoinette. Namun tidak semua cinta menyebabkan tragedy sejarah, Cintanya seorang Muhammad misalnya, seorang Nabi pembawa risalah Tuhan, karena keamatcintaannya terhadap Tuhan serta umatnya, ia mampu bertahan terhadap segala macam hinaan, makian serta perbuatan barbar lainnya. Hingga Bernard Lewis menyebut ia sebagai “pelita zaman”, seorang yang mampu menerangi kegelapan serta kebodohan dan membawa perubahan yang fundamental dalam konstruksi masyarakat arab di masa itu hingga kini. Sungguh pesona cinta mewarnai setiap jejak langkah sejarah umat manusia.

Namun dikala Cinta menguak kesedihan,,cinta tidak pergi,,dy hanya berlalu mencari kepastian yg hakiki,,suatu ssaat ketika tiba,dy akan bersemi dan membawa pelangi terang kehidupan dunia Mu...
Itulah harapan akan cinta yang sejati,,tak tergradasi oleh kemilau harta,nafsu dosa dan kejumudan dunia....

Peranan Gerakan Pemuda Dalam Merekonstruksi Politik Kultural NU

Nahdatul Ulama atau yang biasa disingkat dengan NU merupakan organisasi islam kultural terbesar di Indonesia, Glifford Greetz dalam satu essainya (Politik aliran dalam khazanah islam jawa : 1922) bahkan menyebutkan jumlahnya mencapai 35 juta jiwa. Jelas itu merupakan suatu angka yang fenomenal bagi sebuah organisasi kultural yang berbasiskan santri-santri pondok pesantren khususnya dipulau jawa. Mengingat pada masa tersebut (dalam konteks penelitian Greetz) semangat nasionalisme sedang massif digalakkan yang paradoks dengan cita-cita islam itu sendiri yakni mendirikan suatu peradaban berlandaskan hukum kitabullah dan Sunnah rasul (Qur’an&hadits) yang bersifat internasionalisme.

Dalam khazanah gerakan politik (baik yang bersifat gradual maupun radikal), gerakan politik NU menurut sebagian peneliti, berada diluar kategori gerakan yang ada. James Mossman misalnya (Rebels in paradise : Indonesia civil war, 1961 :136) menyebutkan bahwa pada masa banyak gerakan sipil di tahun tersebut, NU bersifat kompromistis dengan mainstream politik yang ada. Bahkan George M.T Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952:76) menyebut politik NU sebagai politik oppurtunis, yang disebabkan sikap politik tokoh-tokoh NU yang diluar mainstream gerakan politik islam ketika itu. Terlepas dari itu semua, tak dapat dipungkiri NU sebagai organisasi kultural islam (namun tak dapat dipungkiri bersifat politik juga yang direpresentasikan oleh sebagian tokohnya ketika bergabung dengan PPP misalnya di era orde baru yang tetap memakai simbol-simbol NU dalam kampanye politiknya) kerap mewarnai khazanah gerakan politik bangsa baik dari sejak kemerdekaan bahkan hingga saat ini.

Aktifitas dakwah yang diemban oleh tokoh-tokoh NU, tidak menghilangkan semangat aktifitas gerakan politiknya. Ini terbukti ketika era orde baru banyak tokoh-tokoh NU yang berbondong-bondong bergabung dengan PPP yang ketika itu merupakan satu-satunya wadah aspirasi politik kaum muslim pasca fusi parpol yang di inisiasikan oleh orde baru guna menciptakan tertib politik. Kendatipun tidak menyebut nama NU secara eksplisit, namun tetap saja individu2 tersebut melembaga yang menjadikan PPP sebagai ”habitat” politik kaum nahdiyin.

Namun paradigma kolot mengenai politik kultural NU dekade 80’an telah berubah dengan ekstrem. Semula politik kultural NU yang sembunyi2 mulai diekspose dengan munculnya intelektual2 muda NU semisal Abdurahman Wahid, Masdar mas’udi serta yang lainnya yang meramaikan wacana intelektual di Indonesia pada masa itu. Persepsi masyarakat yang memandang NU hanya sebatas gerakan santri, berubah menjadi gerakan yang kultural islam yang dibalut dengan khazanah intelektual kampus. Hal ini tidak terlepas dari massifnya suatu perubahan pola pikir ditubuh elit NU ketika itu yang menginginkan NU bersinergi dengan perkembangan keilmuan yang sedang menggeliat lewat ideologi pembangunan orde baru. Banyak tokoh-tokoh muda NU yang disekolahkan diluar negeri semisal di Al-Azhar Kairo, mesir serta negara timur tengah lainnya yang dipandang memiliki khazanah keilmuan islam yang holistik. Namun tidak semua tokoh-tokoh muda tersebut yang disekolahkan di timur tengah, terdapat pula beberapa aktifis muda NU semisal Djoko Pratiwo, Bambang Kesumantri yang di sekolahkan diperguruan2 tinggi di negara barat semisal Amerika. Sehingga yang terjadi kemudian adalah pertemuan dua arus pemikiran yang semakin membuat NU menjadi lebih bersifat tidak hanya kultural jawa islam melainkan juga terpengaruh oleh pemikiran2 barat.

Seperti yang pernah di utarakan oleh John Maxwell (1992 : 32) peranan merupakan suatu tolak ukur dari eksistensi manusia dalam suatu komunitas sosial masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Terdapat 2 indikator yang digunakan dalam mengukur suatu peranan individu atau kelompok dalam suatu perubahan dimasyarakat yakni : 1. Sejauh mana keberadaannya mempengaruhi pola atau entitas nilai suatu masyarakat tersebut dalam memandang suatu realitas sosial yang terjadi di lingkungannya. 2. Tingkat keterlibatannya dalam suatu aktifitas kelompok dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumya melalui perubahan tata nilai diatas. 2 point diatas kemudian memunculkan 2 postulat penting yakni jika seorang individu itu dapat dikatakan berperan manabila individu tersebut mmbawa perubahan dalam tata nilai maupun perspektif berfikir suatu masyarakat yang sebelumnya terbelakang atau kurang maju, maka ia pun pasti akan terlibat secara aktif dalam aktifitas pengelolaan perubahan tersebut. Namun seseorang tidak dapat dikatakan berperan ketika keberadaannya tidak membawa nuansa perubahan baik dalam konteks perspektif berfikir masyarakat maupun aktifitas perubahan yang ada.

Andrianus Sembiring (1995:23) mengutarakan bahwa dalam setiap komunitas masyarakat, setiap individu memiliki peranannya tersendiri. Premis tersebut benar dalam konteks kondisi masyarakat yang ajeg, namun dalam konteks suatu perubahan sosial, tidak semua individu memiliki peranan. Namun memang harus diakui, keberadaan masyarakat pun dipandang penting dalam setiap perubahan yang ada. Ibarat sebuah mesin, para intelaktual adalah sekrup2 serta olinya sedang masyarakat adalah anekaguna mesin tersebut.

Kembali dalam konteks peranan gerakan pemuda dalam merekonstruksi politik kultural NU, ibarat air segar dipadang pasir itulah analogi yang menggambarkan betapa intelektual muda NU membawa perubahan yang membalut jubah kultural NU dengan jahitan emas intelektualitas. Kini, kaum nahdiyin (kalangan santri NU) tidak dipandang hanya sebatas kalangan tradisionalis namun juga memiliki wawasan pengetahuan yang dinamis. Tokoh2 muda NU yang membawa angin perubahan dalam konteks pemikiran politik misalnya menemukan momentumnya ketika pasca orde baru, mesin politik kaum nahdiyin yang berbadan hukum terbentuk yakni PKB yang dimotori tokoh seniornya Gusdur bersama kalangan muda dekade 90’an seperti AS Hikam, Projo Sumantro serta lainnya. Jelas hal tersebut merupakan kemajuan yang berarti. Meminjam 2 indikator diatas, tokoh intelektual muda NU ketika itu, bukan hanya merubah (merekonstruksi) perspektir berfikir kaum nahdiyin tetapi juga secara aksiologis menyediakan wadah sebagai mesin agregasi kepentingan politik kaum nahdiyin. Peranan para kyai hanya sebatas bersifat sprituil, namun gerakan akar rumput sampai yang bersifat politik praksis, kaum mudalah yang berperan pentng. Meminjam istilah Agus Prawoto (2002:43) NU kini bukan hanya gerakan dakwah tradisionalis, namun juga bersifat gerakan pencerahan bagi bangsa. Wallahu A’lam.

Ringkihnya Entitas Negara dan Masyarakat Indonesia

Fenomena akhir-akhir ini menjadi babak baru realitas sosiologis masyarakat bangsa Indonesia. Laporan yang terbaru menunjukkan angka pasien rumah sakit jiwa di semarang meningkat (laporan kunjungan Seto Mulyo ketua Komnas Anak di semarang tahun 2007), tragedi yang bersifat “langka” pun sering terjadi entah itu ibu kandung membunuh anaknya sendiri (kasus di riau desember 2007), ayah memperkosa anak kandungnya sendiri (Palangkaraya maret 2006), orang tua kandung yang tega menjual anaknya sendiri ke rumah prostitusi (laporan acara kriminal Buser di SCTV maret 2008) berkecambahnya aliran keagamaan yang di sinyalir “sesat” (terakhir diberitakan medio januari 2009) serta fenomena “langka” lainnya yang mengisi lembaran hitam bangsa ini yang tentu saja amat memilukan. Apakah Ada yang salah dengan bangsa ini ?


Gejala sosial dan degradasi mental manusia

Schumpeter, seorang ekonom dan filsuf asal Prancis pernah berujar dengan bijak bahwa spectrum utama dari reduksi mental serta lost identity manusia bukanlah pada perolehan masalah kehidupan, melainkan berpangkal kepada kebingungan akan ketiadaan metode dalam menghancurkan gunung es permasalahan yang ada. Manusia menjadi makhluk yang absurd, ketika terjadi suatu realitas kehidupan yang penuh dengan anomaly-anomali imajinasi atau pengharapan sebelumnya. Dalam perspektif yang lain, Sigmund freud seorang master psiko-analisis mengatakan, dorongan-dorongan naluri keterasingan dalam alam bawah sadarlah yang mengakibatkan manusia mengalami alienasi diri (istilah marx) yang dampaknya kemudian membuat manusia menjadi agresif. Naluri agresifitas manusia menemui momentumnya ketika desakan problematika kehidupan memaksanya untuk bergerak, namun karena ketiadaan metode atau sarana pengetahuan yang terbatas pada dirinya sehingga yang terjadi kemudian adalah personality chaos, pribadi yang brutal dalam menyikapi masalah yang ada.

Schumpeter maupun freud sesungguhnya berusaha menjelaskan kepada kita semua bahwa alam bawah sadar yang mensugesti ke-diri-an manusia, merupakan refleksi dari visualisasi realitas sosial di lingkungan kehidupannya. Artinya, alam bawah sadar sesungguhnya menangkap realitas ditataran kebendaan (realitas sosial, ekonomi, politik, budaya) yang kemudian mensimulasikan serta membentuknya menjadi sugesti bagi perilaku atau tindakan sosial manusia. Dalam konteks masalah sosial-ekonomi misalnya, visualisasi kelangkaan minyak tanah dalam realitas sosial membentuk perilaku kepanikan massa yang sporadis yang ironisnya malah semakin membuat keadaan tidak menentu. Bahkan bila terjadi sugesti yang impresif (sugesti yang terlahir dari tekanan batin yang amat dalam akibat tekanan kemiskinan misalnya) bisa membuat manusia berbuat sesuatu yang amat irrasionil contohnya kejadian seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya sendiri seperti yang diberitakan di TV maupun di media cetak yang dikarenakan ketakutannya terhadap masa depan anaknya kelak (faktor kemiskinan). Fenomena yang memilukan ini, lahir dari realitas sosial yang bobrok, serba tidak jelas arah penyelesaiannya yang akhirnya membentuk pribadi-pribadi yang brutal dalam menyikapi masalah yang ada.


Tesis Schumpeter serta hubungannya dengan realitas sosial saat ini

Meminjam tesis schumpeter, kondisi yang ada pada “kedirian” atau realitas “bawah sadar” manusia bukan hanya diciptakan oleh sugesti-sugesti tak berwujud, namun realitas sosial di lingkungannya memiliki kontribusi yang signifikan dalam membentuk realitas “bawah sadar” manusia tersebut yang akhirnya berwujud kepada perilaku sosial. Ini artinya perilaku “aneh” manusia indonesia akhir-akhir ini bukan tanpa jejak, tidak timbul secara spontan dan bukan pula gejala takdir ! (ini penting penulis ungkapkan, karena masih ada sebagian besar masyarakat yang berfikir ini semua sudah takdir ! padahal ini tidak logis, keliru bin sesat meminjam istilah dari jalaludin rahmat ini merupakan salah satu kesalahan berfikir yang disebut dengan Fallacy of retrospective determinism). Kondisi yang terjadi dimasyarakat saat ini tidak lain diakibatkan oleh realitas sosial –tataran kebendaan meminjam istilah marx- yang penuh dengan tekanan baik itu secara sosial-ekonomi, politik, ketidak-adanya rasa aman dsb yang memicu kepada tekanan mental psikologis. Problematika kehidupan inilah yang akhirnya menciptakan rasa takut, kekhawatiran yang berlebihan, paranoid terhadap keberlangsungan hidup kedepan dan akhirnya membentuk perilaku yang irrasional.

Apabila kita memetakan masalah yang terjadi saat ini sesungguhnya yang menjadi core problem dari fenomena paranoia massal bukanlah kepada realitas masalah yang ada, namun lebih kepada tidak tersedianya ruang-ruang penyelesaian masalah. Masalah akan selalu hadir di setiap zaman, dimanapun dan bagaimanapun afirmasi maupun resistensi terhadap gejala masalah. Fungsi negara sebagai organisasi yang memiliki wewenang untuk mengatur serta mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (Saltou dalam Budiarjo, 2005:39), tidak bertindak (melalui aksi kebijakan) sesuai dengan harapan (ekspetasi) publik. Negara yang seharusnya menyediakan ruang-ruang dialog serta penyelesaian persoalan dalam masyarakat, seakan mengalami pelemahan-pelemahan kuasa (via a vis pemerintah ?) dalam menyediakan ruang-ruang penyelesaian bagi publik. Seperti masalah penggusuran pedagang kaki lima atau kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) misalnya, negara seharusnya bukan hanya menjadi alat represif monopoli kebijakan akan tetapi juga bisa memberikan suatu “angin segar” bagi publik guna meredam gejolak realitas sosial yang ringkih ini. Bukan hanya sekedar menggusur serta bertindak arogan, akan tetapi mengajak masyarakat untuk berpartisipasi melalui penyediaan ruang-ruang dialog serta memberikan penilaian yang objektif mengenai suatu realitas masalah. Negara melalui aktor-aktornya, jangan hanya memaksakan entitas nilai yang baik baginya (baca ; elit pemerintah) melainkan juga mesti berempati publik yakni dengan mencoba menyelami suasana kebatinan masyarakat. Dalam konteks penggusuran pedagang kaki lima misalnya menyediakan lokasi yang baru bagi para pedagang kaki lima (relokasi) yang digusur dengan lokasi baru yang strategis bukan lokasi yang sepi akan aktifitas ekonomi masyarakat.


Re-orientasi relasi Negara dan masyarakat

Negara selalu ingin di mengerti, dan masyarakat mesti mengalah kepada kepentingan egosentris negara. Padahal dalam konteks Negara kesejahteraan “welfare state”, bukan hanya entitas nilai negara yang dikedepankan, akan tetapi varian kebutuhan masyarakat menjadi hal yang amat penting untuk di akomodir serta kemudian dijadikan sebagai input aksi kebijakan Negara (Prayitno, 2003:21). Ini penting, karena aksi kebijakan yang bukan semata-mata merupakan kebutuhan riil masyarakat, hanya akan mengakibatkan delegitimasi pemerintah yang berkuasa, yang berimplikasi kepada lemahnya dukungan terhadap program pembangunan pemerintah baik melalui sikap skeptis publik dengan cara tidak ikut serta dalam proses pemilihan pejabat publik (kepala daerah misalnya) sampai kepada sikap berlawanan dengan pemerintah melalui aksi-aksi politik yang damai sampai dengan yang anarkis (Nandang, 2009:25).

Lalu bagaimana peran Negara maupun entitas bangsa secara keseluruhan dalam menyikapi aras realitas sosial kemasyarakatan saat ini yang serba getir dan memilukan ini ?. Setidaknya terdapat 3 hal yang mesti segera dilaksanakan dan merupakan domain Negara (wiradaguna, 2005:31) yakni :

  • Produk kebijakan yang inklusif serta partisipatif : dalam setiap aksi kebijakan, orientasi tidak bersifat eksklusif. Kebijakan bukan hanya untuk kepentingan klien Negara tapi bagi kesejahteraan semua. Bukankah ‘kebijakan’ ada untuk menanggulangi permasalahan hajat hidup orang banyak, bukan malah menciptakan masalah. Produk kebijakan Negara janganlah untuk memarjinalkan kelompok yang lemah atau minoritas (inklusif), malah sudah semestinya melindunginya serta meng-empower kelompok masyarakat yang lemah tersebut. Selain itu, setiap aksi kebijakan negara mesti merupakan agregasi aspirasi riil masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya, kebijakan tersebut menjadi obat mujarab bagi permasalahan rakyat.

  • Sebagai sebuah organisasi yang memiliki wewenang dalam mengatur serta mengendalikan persoalan bersama, Negara jangan hanya memberikan “informasi” permasalahan yang ada, namun Negara juga berkewajiban berusaha secara serius mengatasi permasalahan tersebut. Namun jangan rakyat yang menjadi “tumbal” dari mekanisme tersebut, rakyat mesti menjadi pihak yang paling minim resikonya dari sebuah penyelesaian permasalahan Negara.

  • Tersedianya Akses bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Terdapat transparansi maupun kemudahan akses bagi masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai content kebijakan negara, serta mekanisme beserta instrument turunannya dalam menyampaikan aspirasi. Dengan adanya akses bagi masyarakat untuk mengetahui mengenai content kebijakan negara, akan terciptanya asa saling memahami antara Negara dengan rakyatnya. Sehingga stabilitas pembangunan akan terjaga dan berkesinambungan.


Adapun peran entitas masyarakat secara keseluruhan dalam mengatasi degradasi mental di lingkungannya ialah :

  • Membangun semangat komunal, rasa kebersamaan serta saling memperhatikan. Prinsip-prinsip individualistis yang menggejala di masyarakat saat ini, mesti segera diruntuhkan. Semangat individualistis yang tidak peka terhadap nasib sesamanya merupakan salah satu factor penyebab lost identity yang akhirnya memicu perilaku irrasional. Ketika asa kebersamaan dan saling memahami terbangun, persona individu dalam masyarakat tidak akan tinggal diam apabila ada tetangganya yang lapar, atau kesakitan. Sehingga sebenarnya meminimalisir tingkat stress bagi persona yang kebetulan dihinggapi masalah tersebut.

  • Membangun Kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan keputusan. Ini artinya memberdayakan kemampuan masyarakat, baik dalam konteks meningkatkan pemahaman atas realitas politik, ekonomi, sosial budaya serta lainnya sehingga masyarakat memiliki pengetahuan serta argumentasi yang kokoh dalam mempengaruhi kebijakan negara. Ini merupakan kewajiban bagi entitas masyarakat yang sudah “berdaya” guna mentransformasikannya kepada elemen masyarakat lainnya yang belum “melek” akan realitas sosial yang terjadi saat ini.

  • Dan yang terakhir, membangun kembali atmosfir spiritualitas disetiap sudut wilayah sosial kemasyarakatan. Ini penting, karena di asumsikan penyebab lain dari pada tergerusnya harapan serta semangat hidup manusia ialah karena hilangnya sandaran atau pijakan dari problematika hidup. Ketika asa spiritualitas memudar, sedangkan Negara beserta elitnya yang menjadi instrument harapan public dalam penyelesaian masalah juga tidak bisa diharapkan, maka trust secara ekstrem akan menjadi “kegilaan” jiwa. Untuk itu, amat penting untuk membangun kembali trust tersebut, dimulai dari menumbuhkan kepercayaan diri melalui pesan-pesan keagamaan, lalu kemudian meningkatkan trust akan kemampuan Negara dalam menyelesaikan persoalan yang ada.


Realitas gejala sosial saat ini, mesti segera diselesaikan baik oleh Negara sebagai

organisasi yang memiliki wewenang serta kuasa, maupun bagi entitas bangsa secara keseluruhan. Apabila tidak, dikhawatirkan gejala sosial saat ini ke depan akan menggerus “peradaban” bangsa, serta menghambat cita-cita memujudkan bangsa yang sejahtera dan “merdeka” bagi rakyatnya. Negara beserta rakyatnya semestinya memungut kembali puing-puing, retakan-retakan mimpi kesejahteraan serta keadilan yang terserak. Kemudian disatukan dan direkatkan sehingga menjadi entitas nilai yang paripurna, dimana merupakan mimpi serta cita-cita dari para Founding fathers bangsa ini dahulu akan menjadi keniscayaan. Apabila tidak, Indonesia akan mengalami apa yang disebut oleh Latif Wiradaguna (2004:126) dengan “kegilaan zaman”. Wallahu A’lam.