Sabtu, 14 Maret 2009

Rabu, 11 Maret 2009

Sekilas Dialektika Sosial Marx

Dialektika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dialogue yang berarti percakapan dan dialog. Pada mulanya, dialetika bermakna mencapai hakikat untuk membuka ide-ide kontradiktif dan pandangan yang saling bertentangan yang dilontarkan di dalamnya. Masing-masing pandangan itu menunjukan titik kelemahan dan kesalahan yang ada pada lawan berdasarkan pengetahuan yang sudah diakui, maka berkembanglah pertentangan antara penafian dan penetapan dalam pembahasan dan perdebatan tersebut, hingga berhenti pada kesimpulan yang didalamnya terdapat salah satu pandangan ini dipertahankan.

Dialektika juga dapat berarti suatu proses dimana materi menemukan pembentukan tahap selanjutnya sampai kepada bentuk akhirnya, yang mana berubah dari satu bentuk kepada bentuk yang lain adalah ujud perubahan materi, sedangkan cara guna mewujudkan perubahan tersebut adalah dengan menciptakan pertentangan antar satu materi dengan materi yang lain, atau menciptakan konflik antara satu pihak dengan pihak lain. Menurut konsep materialisme dialektis Hegel yang kemudian dikaji ulang atau dikembangkan olah Karl marx yang menyatakan bahwa perubahan bentuk secara material dari satu bentuk ke bentuk yang lain adalah materi dialektis dari satu kesatuan eksistensi yang didalamnya terdapat tesis , antitesis, sintesis. George Lavebvre (1874-1959) ahli sejarah prancis mengatakan:”jika tidak ada yang terjadi, berarti disini tidak ada kontradiksi. Sebaliknya, jika tidak ada kontradiksi berarti tidak ada yang terjadi, tidak ada yang wujud dan tidak terlihat adanya aktifitas apapun, dan berarti tidak ada sesuatu yang baru”. contoh pengaplikasian metode tesis, antitesis, sintesis: bahwa keadaan yang ada saat ini merupakan thesis, baik ketika terjadi kezaliman ataupun tidak; untuk mewujudkan perubahan manjadi keadaan baru (sintesis), diperlukan adanya antitesis (kontradiksi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan), sehingga muncullah apa yang disebut dengan class struggle (perlawanan antar kelas masyarakat), antar kelompok miskin dengan kaya, dan pada saat itulah akan terjadi perubahan baru.

Karl marx menyimpulkan bahwa masyarakat bukan terdiri atas individu-individu –seperti pandangan Hobbes dan Locke- melainkan terdiri atas kelas-kelas. Yang dimaksudkan kelas disini adalah kelompok orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi (capital relation). Menurut Marx, seorang anggota masyarakat tidak mengembangkan dirinya secara individual dalam situasi yang vakum, melainkan dari dan melalui kelas ia tergolong (terbentuk), gabungan dari individu itulah sebagai kelas yang membentuk nilai, gagasan dan kebutuhan. Marx juga mengajukan suatu teori dialektika-materialisme yang berisi, semua sejarah merupakan pergantian dominasi dari satu kelas terhadap kelas lain. Dominasi suatu kelas berakhir dengan revolusi terhadap terhadap kelas tersebut yang kemudian memunculkan kelas baru yang mendominasi kelas lain.

Pada abad pertengahan, eropa di dominasi oleh kelas aristokrasi, namun dalam kelas feodal ini terdapat kontradiksi internal yang pada gilirannya menghancurkan kelas itu sendiri. Kontradiksi itu terjadi karena pada satu pihak mereka memerlukan pelayanan bank dan pedagang, namun pada pihak lain secara etis status sosial kebangsawanan menghambat mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan ekonomi. Kemudian mereka membentuk kelas baru yakni kelas kapitalis, yang bersamaan dengan munculnya revolusi industri dan liberalisme yang kemudian kelas terakhir ini menjatuhkan kelas feodal. Kelas kapitalis kemudian menguasai eropa namun manurut Marx kontradiksi internal yang melekat dalam kelas ini pula yang akan menghancurkan kelas kapitalis. Menurut Marx, kontradiksi internal kapitalisme dapat berupa pada satu pihak persaingan bebas dan sehat harus terwujudkan, pada pihak lain untuk dapat survive mereka memerlukan koordinasi dalam pengadaan sarana produksi dan distribusi. Kontradiksi ini menimbulkan akumulasi kapital pada kelompok kecil pengusaha, sedangkan di pihak lain timbul kemelaratan besar-besaran di kalangan buruh dan penduduk pada umumnya yang menyebabkan timbulnya sebuah revolusi proletariat guna menumbangkan hegemoni kapitalis. Oleh sebab itulah kemudian timbul bentuk lain dari kapitalisme yakni imperialisme dan kolonialisme guna mengurangi surplus produksi yang terjadi (new market) serta eksploitasi bahan baku produksi.

Karl marx mengecam keadaan ekonomi dan social disekelilingnya, akan tetapi ia berpendapat bahwa masyarakat tidak dapat diperbaiki secara tambal sulam dan harus diubah secara radikal melalui pendobrakan sendi-sendinya. “Semua filsafat hanya menganalisa masyarakat, tetapi masalah sebenarnya adalah bagaimana mengubahnya”. Menurutnya pertentangan antara kaum kapitalis dan kaum proletar merupakan pertentangan kelas yang teakhir dan dengan demikian akan berakhirlah gerak dialektis. ”kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang sedang hamil tua dengan masyarakat baru”. Selama masyarakat dibagi kedalam kelas-kelas, selama masih ada eksploitasi manusia oleh manusia, perang tak bisa dihindari.

Berikut pemikiran Karl marx yang essainya membahas tentang perubahan dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme Franz magnis suseno: uraian tentang bagaimana kapitalisme niscaya berakhir. Dalam revolusi ini hanya memperhatikan faktor-faktor utama. Sebenarnya persyaratan revolusi sosialis lebih kompleks. Revolusi proletariat baru dapat berhasil menumbangkan kapitalisme dan mendirikan sosialisme apabila syarat-syarat berikut terpenuhi :
Keadaan harus sedemikian buruk sehingga tidak tertahankan lagi oleh bagian terbesar umat manusia.
Kapitalisme sudah berhasil menciptakan kekayaan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan segenap orang.
Revolusi harus merupakan sebuah peristiwa global.
Tenaga-tenaga produktif harus sudah berkembang secara universal sehingga pembagian kerja tidak perlu lagi.
Dalam revolusi sendiri kesadaran seorang revolusioner proletariat harus terbentuk.

Meminjam teori benturan sosial determinisme Marx, kejayaan kapitalisme akan tumbang ketika dimana dunia sudah jengah akan kemiskinan global, terpusatnya sirkulasi modal di segelintir korporasi, terbentuknnya kesadaran untuk melawan dominasi modal korporasi, mewabahnya doktrin “globalisasi” yang menggilas kearifan lokal, sepertinya akhir dari kejayaan Kapitalisme tinggal menunggu waktu saja.

Referensi
Andrian Sipatungguh. 2005. Melawan Dengan Teks : kejatuhan Kapitalisme. Resist Book
Latif Wiradaguna. 2003. Marx dan Sosialisme. Resist Book

Politik dan Administrasi Negara

Politik dan administrasi negara sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal tolak administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan dari proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah kelanjutan dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah kebijakan yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya. Mempelajari negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan kekuasaan dan hal tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari kontestasi politik yakni kekuasaan.

Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem pola hubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian).

Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. ketika pemerintah tidak mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda kebijakan. Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang mengikutsertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.

Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi negara
Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang sangat luas. Di indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai-pun yang menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain. Akibatnya pemerintah dalam pembentukan kabinet guna merealisasikan program kerja pemerintah, selalu dilandasi dengan kerja sama atau koalisi dari beberapa partai yang diikuti oleh pembagian “kue” yakni jatah kursi menteri-menteri yang akan memimpin departemen. Ketika partai telah memperoleh pembagian jatah kursi menteri, maka kemudian yang terjadi adalah departemen-departemen tersebut seolah menjadi milik partai dan jabatan-jabatan strategis dilingkungan departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang partai asal si menteri. Dalam keadaan yang demikian ekstrim, pengisian tersebut kadang-kadang mengabaikan norma kepegawaian yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat lanjutnya adalah staff kementrian tersebut kurang mampu, penempatan pegawai tidak tepat sehingga administrasi negara tidak berjalan dengan efektif.

Oleh karena kedudukan menteri sangatlah erat dengan konstelasi politik antar partai pengusung kekuasaan dan juga bargaining politik antar elit partai, maka seorang menteri bisa saja berhenti ketika partainya tidak mampu menempatkan dirinya sesuai sebagaimana seharusnya dilingkaran kekuasaan. Untuk itulah, partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan soekarno walaupun itu menanggalkan prinsip-prinsip kepartai-an itu sendiri.

Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan ysng paradoks. Oleh karena administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi kepada partai politik tertentu, maka sering terjadi pembentukan suatu badan/lembaga tertentu baru atau unit-unit baru dalam suatu kementrian, Walaupun secara terselubung dilatar belakangi kepentingan untuk menempatkan orang-orang partai pada jabatan-jabatan dalam badan/lembaga yang baru terbentuk. Lambat laun terciptanya struktur organisasi administrasi yang tidak efisien akibat adanya suatu organisasi yang tidak jelas tugas dan fungsinya dan juga tumpang tindih arah kerja ketika beberapa organisasi mempunyai tugas dan fungsi yang sama, birokrasi berlebih-lebihan yang menghambat proses kerja dan abuse of power.

Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh pertai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya.

Disamping itu adanya perbaikan kompensasi pegawai mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan memberi kenaikan gaji beberapa kali lipat. Guna meningkatkan pelayanan publik, para aparatur negara yang memberikan pelayanan tersebut juga haruslah makmur atau sejahtera hidupnya. Analisa pemerintah dengan dinaikkannya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, maka akan memperkecil adanya kesempatan untuk melakukan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang akibat keterpurukkan taraf hidup ekonomi para aparat pemerintah. Pemerintah merencanakan dengan sebuah kesinergisan dan keharmonisan antar pelaku maupun objek kebijakan maka suatu pelayanan publik yang prima itu akan terealisasikan.

Namun ironisnya yang terjadi kemudian, terjadinya egaliterisme pemerintahan. Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur budaya maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi kapital yang berlebihan pada sebagian konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Perlu diperhatikan,awalnya soeharto melihat dengan menumpukkan kapital di salah satu konglomerat maka efek feedbacknya akan terciptanya “rembesan ke bawah” -kalau merujuk woodrow wilson- para konglomerat tersebut akhirnya akan membuka faktor produksi yakni perusahaan yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja dilingkungan perusahaan tersebut.

Selain itu, budaya militer pun mempengaruhi disfungsi birokrasi Politik militer yang tanpa tanding (oposisi) mengakibatkan pemerintah kehilangan kontrol, pemerintah merasa segala tindak lakunya tidak akan ada penghalangnya. Ini berakibat dengan dekonsistensi organisasi, banyaknya para pejabat yang korup yang pada akhirnya budaya korupsi pun tercipta dikarenakan tidak adanya pengetatan hukum ketika itu. Arah dari pemerintah ketka itu ialah pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi oriented profit sehingga birokrasi menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang tak bermateri. Lambat laun hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu arahnya.

birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah sebaliknya, publik secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan kualitas pelayanan yang prima bagi mereka.
Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.

Budaya birokrasi yang omnipotent pada akhirnya berakibat terhadap hal-hal yang sangat prinsipil dalam tata birokrasi yang kompetitif, diantaranya ialah :
a.Menurunnya kualitas para aparat birokratnya karena terbiasa akan budaya birokrasi yang santai.
b.Melemahnya ke-efektifan organisasi terhadap orientasinya akan pelayanan kepada publik.
c.Tiingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik negara menjadi sangat rendah atau tidak perduli lagi.
d.Dan yang paling riskan ialah hancurnya budaya organisasi negara secara keseluruhan dan timbulnya ketidak pedulian negara terhadap warga negaranya yang akan memicu timbulnya suatu hal yang destruktif bagi kemajuan potensi kebangsaan kita.

Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini
Dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap administrasi kebijakannya.

Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “reformation birokrasi in globalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan meregulasi para aparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruang lingkup system ia menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau rvitalisasi terhadap systemnya.

Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya birokrasi di Indonesia. Pada dasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa terbesar bagi sakitnya birokrasi kita ialah pada systemnya. Menurut ia “when the processing of politic is finish, the birokration is begin”, artinya birokrasi itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itu telah selesai birokrasi berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politik namun bukan bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil) politik.

Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yang cukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi kehilangan kenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat ialah ia harus netral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika ada mutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakin dekatnya ajang pilkadal di tahun 2006 ketika itu.

Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra kondisi kestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai. Politik dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negara ada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis demarkasi yang jelas antar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah positif bukan malah bersifat korosif.

Referensi

Leo Agustino. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. AIPI Bandung & KP2W Lemlit Unpad
Jorge Lowell. 2001. Birokration Reform in globalitation era. Ford Foundation

REFORMASI DAN REORIENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT

Sejarah perjalanan relasi pemerintah pusat dengan daerah di Indonesia diwarnai dengan friksi, rekonsiliasi kemudian disharmoni kembali. Dari catatan Harold crouch misalnya (Crouch : 32) contoh indikasi yang menggambarkan betapa antagosnistik relasi antara pemerintah daerah dengan pusat ialah pemberontakan PRRI/Permesta yang timbul akibat ketidak-merataan pembangunan ekonomi antara pusat -Jakarta dalam hal ini- dengan daerah terutama yang berada secara geografis dan administratif diluar jawa.

Saat ini pun relasi yang terjadi antara pusat dan daerah bersifat antagonistik. Pasca reformasi yang menggulirkan era desentralisasi yang implikasinya adalah reduksi kekuasaan pemerintahan pusat, terjadi tarik menarik kepentingan antara elit negara dan elit daerah. Elit pemerintahan pusat dalam era otonomi daerah mesti menerima penguatan daerah dalam menentukan setiap kebijakan didaerahnya meskipun eksesnya kehilangan sebagian besar previlege yang dikuasainya semasa rezim orde baru. Namun pemerintah pusat pun sepertinya tidak ingin sepenuhnya melimpahkan kewenangan kepada pemerintah daerah, ini terlihat dari masih tersentralisasinya beberapa varian penerimaan keuangan seperti pajak, perizinan investasi dan lainnya. Beberapa kasus Perda bermasalah pun menjadi indikator-indikator dari masih belum harmonisnya sistem relasi kewenangan antara pusat dan daerah dalam masa otonomi daerah. Bahkan APPSI (asosiasi pemerintahan Provinsi se Indonesia) menginginkan jabatan Gubernur setingkat dengan menteri dalam struktur pemerintahan Indoensia

Relasi yang belum harmonis ini mesti segera dicarikan solusinya dalam rangka menyukseskan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi kewenangan yang sporadis tidak tersistem serta gradual hanya akan memperparah korosi sistem ketatanegaraan dinegeri kita. Seperti realita yang terjadi saat ini dimana tidak hanya desentralisasi kewenangan namun juga desentralisasi korupsi yang akut. Bahkan ada postulat yang mengatakan korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Semakin tersentral kekuasaan, semakin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan itu. Jenis ini ditemukan di masa Rezim Orde Baru. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Jenis ini di alami sekarang, di zaman pasca Orde Baru. Bisa dibayangkan jika yang terjadi otonomi yang seluas-luasnya. Menurut postulat ini, korupsi pun akan mengikuti rangkaiannya dimana terjadi seluas-luasnya di banyak pusat kekuasaan yang otonom itu. Oleh karenanya menurut Prof. Ryas Rasyid seorang konseptor otonomi daerah yang juga mantam menteri otonomi daerah di masa pemerintahan Gus Dur, pelaksanaan otonomi daerah mesti mengacu pada orientasi wawasan nasional, tidak an sich kebutuhan lokal. Menurutnya bukankah otonomi daerah di create dalam rangka kepentingan nasional, untuk itulah kuasa elit local yang kini “subur” mesti di negasikan.

Pembelajaran dari praktek desentralisasi di Amerika latin
Belajar dari negara-negara Amerika latin semisal Kolombia dan Argentina yang juga melaksanakan kebijakan politik desentralisasi walau berbeda dalam tahapannya, kita akan mengerti alasan mengapa aspirasi publik hanya menjadi ”kelengkapan” normatif saja dari wacana pembentukan daerah. Terdapat tiga jenis kekuasaan yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada daerah dalam praktek politik desentralisasi, yakni : pertama, desentralisasi politik, kedua, desentralisasi fiskal serta ketiga, desentralisasi administratif ( G. Faletti 2004 dalam Leo Agustino hal 189-190 : 2007).

Menurut Falleti kekuasaan itu harus di limpahkan secara gradual serta sekuensial. Dengan memberikan pelimpahan wewenang secara sekuensial, akan menghasilkan dampak otonomi daerah yang berbeda. Contohnya Kolombia yang didahului dengan pelimpahan desentralisasi politik lebih dahulu, lalu kemudian disusul dengan desentralisasi fiskal dan terakhir desentralisasi administrasi. Bandingkan dengan Argentina yang didahului desentralisasi administrasi, lalu kemudian menyusul desentralisasi fiskal dan selanjutnya desentralisasi politik. Hasilnya, otonomi daerah ala Kolombia menghasilkan kekuasaan yang teramat besar di tangan kepala daerah namun celakanya dengan minimnya kapasitas dalam mengelola daerahnya. Implikasi yang terjadi adalah melembaganya aktor-aktor (baca : elit) daerah menjadi ”penguasa” yang menghegemoni masyarakat di daerahnya sendiri. Praktek politik-ekonomi ber-asaskan ”kekeluargaan” pun adalah pil pahit yang mesti di telan oleh masyarakat daerah tersebut.
Sedangkan otonomi daerah ala Argentina menghasilkan pemerintah daerah yang memiliki kapasitas yang ”mumpuni” dalam mengelola daerahnya. Walaupun diawal-awal terjadi penyesuaian-penyesuaian yang melelahkan, pada akhirnya pemerintah daerah yang otonom dapat terbentuk dengan efisien serta fungsi mendekatkan kesejahteran kepada masyarakat di level lokal pun secara gradual dapat di terjemahkan ke dalam langkah yang praksis.

Celakanya, Indonesia mengikuti skenario otonomi daerah ala Kolombia. Menarik garis ke konfigurasi dinamika politik pembentukan daerah, desentralisasi yang di awali dengan pelimpahan kuasa serta ”dana” cenderung terlihat mengemuka yang menarik gerbong ”elit” secara massif bergulat dalam proses tersebut (pembentukan daerah). Sejatinya ketika mimpi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat itu benar-benar menjadi harapan entitas politik bangsa, maka sebenarnya skenario politik desentralisasi ala Argentina lah yang mesti di ikuti. Desentralisasi administratif secara genuine dapat mendekatkan pelayanan publik pada level terdekat masyarakat. Kebijakan desentralisasi yang di awali dengan desentralisasi administratif juga akan ”mendewasakan” struktur birokrasi di level daerah, sehingga nantinya aparatur pemerintah daerah memiliki kapasitas yang baik dalam mengelola daerahnya baik dalam konteks distribusi wewenang maupun perihal penganggaran bagi alokasi dana program-program kebijakan pembangunan daerahnya kelak.

Struktur Kebijakan yang Elaboratif Kontekstual
Dalam masa desentralisasi yang prematur saat ini, memang tidak mudah mereposisi maupun meredefinisikan peranan antara pusat dan daerah. Ini tidak terlepas dari hegemoni memory sentralistic yang berhasil diterapkan oleh rezim orde baru. Sehingga relasi yang harmonis masih dalam proses pencarian yang konsepsional.
Setidaknya terdapat beberapa langkah guna mensukseskan rezim desentralisasi ini, seperti penulis nukil dari elaborasi Agus syamsudin (2003: 32) yakni :
Pertama, Self regulating power berbicara mengenai bagaimana pemerintah daerah mesti memiliki kapasitas yang mumpuni dalam melaksanakan otonomi daerah bagi kesejahteraan masyarakat didaerahnya. Ini ber-implikasi bagaimana pemerintah daerah dituntut untuk membuat regulasi yang kompetitif dan berwawasan kesejahteraan rakyat dalam setiap perumusan kebijakan baik itu dalam aspek politik, ekonomi sosial dan lainnya.

Kedua, Self modifiying power mengingatkan pemerintah daerah untuk kreatif dalam mentransplantasikan kebijakan nasional ditataran daerah. Beberapa aspek seperti hukum, yang diatur oleh pemerintah pusat mesti dikreasikan sesuai dengan kultur didaerahnya. Tidak mesti seragam, namun sesuai dengan nuansa kebatinan masyarakat didaerahnya. Seperti peraturan mengenai hukum positif, tidak mesti seragam an sich dengan pemerintah pusat, bisa dikreasikan dengan hukum yang normatif didaerahnya. Bisa disebut hibrid laws atau memposisikan hukum positif negara dengan hukum normatif didaerahnya. Misalnya dengan kasus hukum syariat islam yang telah dipraktekkan dibeberapa daerah misalnya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Ketiga, Local political support aspek ini berbicara mengenai otonomi daerah yang gemilang mesti mengacu pada upaya penguatan peranan dari masyarakat. Dalam konteks ini bisa disebut sebagai legitimasi politik yang kuat dalam menjalankan kebijakan. Baik itu eksekutif daerah maupun DPRD mesti mengikutsertakan partisipasi publik yang seluas-luasnya guna menjamin stabilitas didaerahnya. Ini di tempuh dengan membuka sseluas-luasnya akses bagi masyarakat dalam memantau setiap content agenda kebijakan pemerintah daerah. Ke empat, Financial resources mengertikan kepada kita semua bahwa daerah mesti mengembangkan kemampuan dalam mengelola serta mengkreasi sumber-sumber pemasukan keuangan daerahnya. Ini penting karena program pembangunan daerah mesti didukung oleh sumber keuangan daerah yang solid.

Sedangkan yang terakhir yakni developing brain power yang menitikberatkan kepada pembangunan bukan hanya bersifat infrastruktur namun juga mesti menguatkan pembangunan suprastrukturnya yakni manusia-manusia yang knowledegable. Karena SDM yang berkualitaslah yang akan berperan penting dalam pembangunan didaerahnya. Ini dapat di tempuh dengan penguatan alokasi bagi anggaran dana pendidikan di daerah, pelatihan-pelatihan formal maupun non formal dalam meng-create keterampilan mereka, menyediakan instrument pendukung peningkatan mutu pendidikan dan lainnya. Sehingga ke depan lahir generasi masyarakat yang memiliki kapasitas yang berguna bagi pengembangan daerahnya.

Apabila stimulus diatas di implementasikan, daerah otonom akan menjadi role model pemerintahan yang dibidani oleh agregasi varian partisipasi masyarakat, serta melahirkan pemerintahan yang partisipatif dan tentunya dalam setiap agenda kebijakannya tiada lainnya adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Tanpa itu semua, otonomi daerah hanya akan sekedar konsepsi using serta mimpi disiang bolong. Waallahu a’alam.

Referensi

Agus Ayamsudin. 2003. Meninjau Kembali Konsepsi Politik Desentralisasi. Gema Press
Harold Crouch. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Sinar Harapan
Leo Agustino. 2007. Perihal Ilmu Politik : Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Graha Ilmu

Mereduksi Superioritas Ke-sukuan dalam Wacana Kepemimpinan Nasional

“Sejarah adalah milik penguasa”, begitulah kira-kira adigum yang sering kita dengar. Sejarah direkonstruksi dalam kaitan sebagai legitimasi kekuasaan maupun hegemoni kekuasaan suatu rezim pemerintahan yang berkuasa. Rezim orde baru contohnya, selalu membesarkan peristiwa-peristiwa sejarah dimana Soeharto adalah lakon utama peristiwa sejarah tersebut. Serangan Umum 11 Maret, G-30 S PKI, serta lainnya merupakan upaya rezim soeharto dalam mengukuhkan hegemoni kepahlawanannya di benak rakyat Indonesia. Selain itu, superioritas kesukuannya pun kerap di bangun dengan instrument pendirian monument, patung, gelar kepahlawanan, yang sebagian besar dibuat untuk persona pahlawan yang berasal dari suku jawa. Hingga kini warisan pemikiran orde baru mengenai visi pemimpin bangsa masih menjadi ukuran yang relevan untuk diyakini, dengan doktrin mimpi Prabu Kediri, Jayabaya “Notonegoro”, bangsa ini (dibuat) yakin, negeri ini mestilah harus dipimpin oleh penguasa yang berasal dari suku jawa, diluar itu, cukup hanya menjadi wakilnya. Lihatlah catatan sejarah (yang biasa di bakukan dalam kurikulum sejarah di institusi pendidikan) presiden yang pernah memimpin Negara republic Indonesia dari sejak Soekarno hingga kini SBY mereka adalah persona yang berasal dari suku jawa. Bahkan Habibie yang memerintah dalam masa transisi reformasi menuju pemilu 1999 yang notabene berasal dari pare-pare Makassar, diasosiasikan pula dengan trah jawa yang darahnya berasal dari ibundanya yang berketurunan Jawa.

Bangsa ini sebenarnya banyak melahirkan manusia-manusia “besar”, yang turut memiliki andil dalam membidani terbentuknya Republik Indonesia tercinta ini. Bukan hanya Soekarno, Sudirman, Diponegoro atau bahkan Soeharto, melainkan juga Tan Malaka, Amir Syarifudin. Syahrir, Cut Nyak Dhien, Natsir serta banyak yang lainnya. Dalam catatan sejarah kemerdekaan bangsa ini, peran mereka selalu dipinggirkan dan dikecilkan, baik oleh karena pendiriannya (pemikirannya/ideologi), bukan ke-jawaannya, maupun karena gerakan oposisi yang mereka lakukan terhadap pemerintahan “Jakarta” pada waktu itu. Terlepas dari perbedaan perspektif berfikir terhadap kemajuan bangsa ini maupun ideology yang mereka “imani”, mereka juga mempunyai mimpi serta cita-cita yang secara substansi sama dengan para founding father (mother?) lainnya tentang visi kemajuan Republik ini di masa depan. Salah satu persona (sosok) besar yang turut memiliki andil besar terhadap keberlangsungan republik ini, yang sering dilupakan catatan sejarah ialah Syafrudin Prawiranegara.

Syafrudin Prawiranegara, pria kelahiran Banten 28 februari 1911-15 februari 1989 yang kadang dikira berasal dari Sumatera Barat (walaupun terdapat darah minang juga), memiliki peran besar dalam menyambung “nafas” eksistensi Republik Indonesia. Buyutnya adalah Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat yang dibuang ke Banten karena perang paderi. Lalu kemudian menikah dengan putri bangsawan Banten, Lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama Raden Arsyad prawiraatmadja. Seorang jaksa yang dekat dengan rakyat, hingga akhirnya beliau pun dibuang oleh Belanda dari Banten.

Sejarah pernah mencatat, berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) entitas pemerintahan sementara di Bidar alam, Sumatera Barat, ketika terjadi agresi militer Belanda ke 2 di tahun 1948. Berdirinya PDRI amatlah penting dalam konteks menghindarkan terjadinya “vacuum of power”, ketiadaan pemerintahan yang berdaulat di wilayah Indonesia. Ketika itu Jogja maupun Jakarta beserta para elit pemimpinnya, baik itu Soekarno, Hatta, Syahrir dan lainnya telah “dikuasai” Belanda. Ketiadaan pemerintahan yang berdaulat amat membahayakan karena dapat membuat “arus balik” simpati dunia international terhadap eksistensi Republik Indonesia. Belanda memang sengaja bertujuan untuk membuat dunia internasional (dengan adanya agresi) melihat bahwa tidak adanya pemerintahan yang berdaulat di wilayah Indonesia, sehingga wajar bagi mereka untuk tidak berunding di PBB dan kembali memasukkan wilayah Indonesia kedalam wilayah kerajaan Belanda. Atas usaha pemerintah daruratlah, Belanda dengan terpaksa berunding dengan Indonesia, yang akhirnya Soekarno-Hatta serta pemimpin lainnya dibebaskan dan kembali ke Jogjakarta.Di sinilah peran penting terbentuknya PDRI, guna menyelamatkan “sakaratul maut” Republik ini, menghindarkan Belanda untuk dapat meyakinkan dunia international atas tindakannya dalam menganeksasi wilayah Indonesia, dan Syafrudin Prawiranegara seorang Putra asal Banten dan bukan “keturunan Jawa” adalah penggagas sekaligus Presiden/Ketua dari pemerintahan darurat ini.

Dalam konteks diskursus kepolitikan menjelang pemilu saat ini, wacana “kedaerahan” sudah seharusnya di tanggalkan. Siapapun mereka yang akan menjadi pemimpin bangsa ini,-terlepas dari suku mana ia berasal- masyarakatlah yang menjadi penentunya. Yang sudah sepantasnya untuk dikedepankan adalah proses politik nanti mestilah melahirkan pemimpin yang meiliki kapasitas dalam mengelola Negara ini kearah yang lebih baik. Krisis financial global, menjalarnya praktek korupsi ke berbagai tingkatan lembaga pemerintahan, rekonsiliasi nasional, ancaman asing terhadap wilayah perbatasan terluar republik ini serta agenda penting lainnya adalah tugas yang amat berat dan amat dangkal apabila kembali dipusingkan dengan wacana pemimpin yang mesti berasal dari Jawa. Sejarah sudah membuktikan bahwa figure pemimpin bangsa tidaklah dimonopoli oleh 1 golongan atau suku saja, akan tetapi tergantung konteks latar sejarah serta keinginan masyarakat itu sendiri.

Sudah seyogyanya kehendak politik diserahkan kepada masyarakat, biarkan masyarakat melalui mekanismenya sendiri menentukan figur-figur pemimpin bangsa yang nantinya akan memimpin bangsa ini. Masyarakat juga sudah saatnya jeli dalam mengkomparasi janji-janji bakal calon pemimpin bangsa ini kedepan. Jangan sampai terbuai oleh janji-janji kosong yang pada akhirnya masyarakat hanya di jadikan komoditas politik yang murah. Untuk itu, masyarakat janganlah terjebak kepada pandangan politik yang sempit, yang melihat persona pemimpin dari kaca mata kedaerahan, relasi produksi, dikotomi sipil-militer, dan lainnya. Pilihlah pemimpin-pemimpin bangsa ini ke depan dengan bersandar kepada kapasitas kepemimpinannya, jejak rekam kepemimpinannya, integritas moralnya serta tidak lupa visi dan misinya dalam membawa perubahan kepada nasib bangsa ini ke depan. Apabila semua itu berjalan dengan baik, konsolidasi demokrasi kita akan harmonis serta menuju kepada tatanan yang berkeadilan dan mensejahterakan semua aspek bangsa. Wallahu a’lam