Rabu, 11 Maret 2009

REFORMASI DAN REORIENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT

Sejarah perjalanan relasi pemerintah pusat dengan daerah di Indonesia diwarnai dengan friksi, rekonsiliasi kemudian disharmoni kembali. Dari catatan Harold crouch misalnya (Crouch : 32) contoh indikasi yang menggambarkan betapa antagosnistik relasi antara pemerintah daerah dengan pusat ialah pemberontakan PRRI/Permesta yang timbul akibat ketidak-merataan pembangunan ekonomi antara pusat -Jakarta dalam hal ini- dengan daerah terutama yang berada secara geografis dan administratif diluar jawa.

Saat ini pun relasi yang terjadi antara pusat dan daerah bersifat antagonistik. Pasca reformasi yang menggulirkan era desentralisasi yang implikasinya adalah reduksi kekuasaan pemerintahan pusat, terjadi tarik menarik kepentingan antara elit negara dan elit daerah. Elit pemerintahan pusat dalam era otonomi daerah mesti menerima penguatan daerah dalam menentukan setiap kebijakan didaerahnya meskipun eksesnya kehilangan sebagian besar previlege yang dikuasainya semasa rezim orde baru. Namun pemerintah pusat pun sepertinya tidak ingin sepenuhnya melimpahkan kewenangan kepada pemerintah daerah, ini terlihat dari masih tersentralisasinya beberapa varian penerimaan keuangan seperti pajak, perizinan investasi dan lainnya. Beberapa kasus Perda bermasalah pun menjadi indikator-indikator dari masih belum harmonisnya sistem relasi kewenangan antara pusat dan daerah dalam masa otonomi daerah. Bahkan APPSI (asosiasi pemerintahan Provinsi se Indonesia) menginginkan jabatan Gubernur setingkat dengan menteri dalam struktur pemerintahan Indoensia

Relasi yang belum harmonis ini mesti segera dicarikan solusinya dalam rangka menyukseskan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi kewenangan yang sporadis tidak tersistem serta gradual hanya akan memperparah korosi sistem ketatanegaraan dinegeri kita. Seperti realita yang terjadi saat ini dimana tidak hanya desentralisasi kewenangan namun juga desentralisasi korupsi yang akut. Bahkan ada postulat yang mengatakan korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Semakin tersentral kekuasaan, semakin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan itu. Jenis ini ditemukan di masa Rezim Orde Baru. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Jenis ini di alami sekarang, di zaman pasca Orde Baru. Bisa dibayangkan jika yang terjadi otonomi yang seluas-luasnya. Menurut postulat ini, korupsi pun akan mengikuti rangkaiannya dimana terjadi seluas-luasnya di banyak pusat kekuasaan yang otonom itu. Oleh karenanya menurut Prof. Ryas Rasyid seorang konseptor otonomi daerah yang juga mantam menteri otonomi daerah di masa pemerintahan Gus Dur, pelaksanaan otonomi daerah mesti mengacu pada orientasi wawasan nasional, tidak an sich kebutuhan lokal. Menurutnya bukankah otonomi daerah di create dalam rangka kepentingan nasional, untuk itulah kuasa elit local yang kini “subur” mesti di negasikan.

Pembelajaran dari praktek desentralisasi di Amerika latin
Belajar dari negara-negara Amerika latin semisal Kolombia dan Argentina yang juga melaksanakan kebijakan politik desentralisasi walau berbeda dalam tahapannya, kita akan mengerti alasan mengapa aspirasi publik hanya menjadi ”kelengkapan” normatif saja dari wacana pembentukan daerah. Terdapat tiga jenis kekuasaan yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada daerah dalam praktek politik desentralisasi, yakni : pertama, desentralisasi politik, kedua, desentralisasi fiskal serta ketiga, desentralisasi administratif ( G. Faletti 2004 dalam Leo Agustino hal 189-190 : 2007).

Menurut Falleti kekuasaan itu harus di limpahkan secara gradual serta sekuensial. Dengan memberikan pelimpahan wewenang secara sekuensial, akan menghasilkan dampak otonomi daerah yang berbeda. Contohnya Kolombia yang didahului dengan pelimpahan desentralisasi politik lebih dahulu, lalu kemudian disusul dengan desentralisasi fiskal dan terakhir desentralisasi administrasi. Bandingkan dengan Argentina yang didahului desentralisasi administrasi, lalu kemudian menyusul desentralisasi fiskal dan selanjutnya desentralisasi politik. Hasilnya, otonomi daerah ala Kolombia menghasilkan kekuasaan yang teramat besar di tangan kepala daerah namun celakanya dengan minimnya kapasitas dalam mengelola daerahnya. Implikasi yang terjadi adalah melembaganya aktor-aktor (baca : elit) daerah menjadi ”penguasa” yang menghegemoni masyarakat di daerahnya sendiri. Praktek politik-ekonomi ber-asaskan ”kekeluargaan” pun adalah pil pahit yang mesti di telan oleh masyarakat daerah tersebut.
Sedangkan otonomi daerah ala Argentina menghasilkan pemerintah daerah yang memiliki kapasitas yang ”mumpuni” dalam mengelola daerahnya. Walaupun diawal-awal terjadi penyesuaian-penyesuaian yang melelahkan, pada akhirnya pemerintah daerah yang otonom dapat terbentuk dengan efisien serta fungsi mendekatkan kesejahteran kepada masyarakat di level lokal pun secara gradual dapat di terjemahkan ke dalam langkah yang praksis.

Celakanya, Indonesia mengikuti skenario otonomi daerah ala Kolombia. Menarik garis ke konfigurasi dinamika politik pembentukan daerah, desentralisasi yang di awali dengan pelimpahan kuasa serta ”dana” cenderung terlihat mengemuka yang menarik gerbong ”elit” secara massif bergulat dalam proses tersebut (pembentukan daerah). Sejatinya ketika mimpi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat itu benar-benar menjadi harapan entitas politik bangsa, maka sebenarnya skenario politik desentralisasi ala Argentina lah yang mesti di ikuti. Desentralisasi administratif secara genuine dapat mendekatkan pelayanan publik pada level terdekat masyarakat. Kebijakan desentralisasi yang di awali dengan desentralisasi administratif juga akan ”mendewasakan” struktur birokrasi di level daerah, sehingga nantinya aparatur pemerintah daerah memiliki kapasitas yang baik dalam mengelola daerahnya baik dalam konteks distribusi wewenang maupun perihal penganggaran bagi alokasi dana program-program kebijakan pembangunan daerahnya kelak.

Struktur Kebijakan yang Elaboratif Kontekstual
Dalam masa desentralisasi yang prematur saat ini, memang tidak mudah mereposisi maupun meredefinisikan peranan antara pusat dan daerah. Ini tidak terlepas dari hegemoni memory sentralistic yang berhasil diterapkan oleh rezim orde baru. Sehingga relasi yang harmonis masih dalam proses pencarian yang konsepsional.
Setidaknya terdapat beberapa langkah guna mensukseskan rezim desentralisasi ini, seperti penulis nukil dari elaborasi Agus syamsudin (2003: 32) yakni :
Pertama, Self regulating power berbicara mengenai bagaimana pemerintah daerah mesti memiliki kapasitas yang mumpuni dalam melaksanakan otonomi daerah bagi kesejahteraan masyarakat didaerahnya. Ini ber-implikasi bagaimana pemerintah daerah dituntut untuk membuat regulasi yang kompetitif dan berwawasan kesejahteraan rakyat dalam setiap perumusan kebijakan baik itu dalam aspek politik, ekonomi sosial dan lainnya.

Kedua, Self modifiying power mengingatkan pemerintah daerah untuk kreatif dalam mentransplantasikan kebijakan nasional ditataran daerah. Beberapa aspek seperti hukum, yang diatur oleh pemerintah pusat mesti dikreasikan sesuai dengan kultur didaerahnya. Tidak mesti seragam, namun sesuai dengan nuansa kebatinan masyarakat didaerahnya. Seperti peraturan mengenai hukum positif, tidak mesti seragam an sich dengan pemerintah pusat, bisa dikreasikan dengan hukum yang normatif didaerahnya. Bisa disebut hibrid laws atau memposisikan hukum positif negara dengan hukum normatif didaerahnya. Misalnya dengan kasus hukum syariat islam yang telah dipraktekkan dibeberapa daerah misalnya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Ketiga, Local political support aspek ini berbicara mengenai otonomi daerah yang gemilang mesti mengacu pada upaya penguatan peranan dari masyarakat. Dalam konteks ini bisa disebut sebagai legitimasi politik yang kuat dalam menjalankan kebijakan. Baik itu eksekutif daerah maupun DPRD mesti mengikutsertakan partisipasi publik yang seluas-luasnya guna menjamin stabilitas didaerahnya. Ini di tempuh dengan membuka sseluas-luasnya akses bagi masyarakat dalam memantau setiap content agenda kebijakan pemerintah daerah. Ke empat, Financial resources mengertikan kepada kita semua bahwa daerah mesti mengembangkan kemampuan dalam mengelola serta mengkreasi sumber-sumber pemasukan keuangan daerahnya. Ini penting karena program pembangunan daerah mesti didukung oleh sumber keuangan daerah yang solid.

Sedangkan yang terakhir yakni developing brain power yang menitikberatkan kepada pembangunan bukan hanya bersifat infrastruktur namun juga mesti menguatkan pembangunan suprastrukturnya yakni manusia-manusia yang knowledegable. Karena SDM yang berkualitaslah yang akan berperan penting dalam pembangunan didaerahnya. Ini dapat di tempuh dengan penguatan alokasi bagi anggaran dana pendidikan di daerah, pelatihan-pelatihan formal maupun non formal dalam meng-create keterampilan mereka, menyediakan instrument pendukung peningkatan mutu pendidikan dan lainnya. Sehingga ke depan lahir generasi masyarakat yang memiliki kapasitas yang berguna bagi pengembangan daerahnya.

Apabila stimulus diatas di implementasikan, daerah otonom akan menjadi role model pemerintahan yang dibidani oleh agregasi varian partisipasi masyarakat, serta melahirkan pemerintahan yang partisipatif dan tentunya dalam setiap agenda kebijakannya tiada lainnya adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Tanpa itu semua, otonomi daerah hanya akan sekedar konsepsi using serta mimpi disiang bolong. Waallahu a’alam.

Referensi

Agus Ayamsudin. 2003. Meninjau Kembali Konsepsi Politik Desentralisasi. Gema Press
Harold Crouch. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Sinar Harapan
Leo Agustino. 2007. Perihal Ilmu Politik : Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Graha Ilmu

Tidak ada komentar: