Rabu, 11 Maret 2009

Mereduksi Superioritas Ke-sukuan dalam Wacana Kepemimpinan Nasional

“Sejarah adalah milik penguasa”, begitulah kira-kira adigum yang sering kita dengar. Sejarah direkonstruksi dalam kaitan sebagai legitimasi kekuasaan maupun hegemoni kekuasaan suatu rezim pemerintahan yang berkuasa. Rezim orde baru contohnya, selalu membesarkan peristiwa-peristiwa sejarah dimana Soeharto adalah lakon utama peristiwa sejarah tersebut. Serangan Umum 11 Maret, G-30 S PKI, serta lainnya merupakan upaya rezim soeharto dalam mengukuhkan hegemoni kepahlawanannya di benak rakyat Indonesia. Selain itu, superioritas kesukuannya pun kerap di bangun dengan instrument pendirian monument, patung, gelar kepahlawanan, yang sebagian besar dibuat untuk persona pahlawan yang berasal dari suku jawa. Hingga kini warisan pemikiran orde baru mengenai visi pemimpin bangsa masih menjadi ukuran yang relevan untuk diyakini, dengan doktrin mimpi Prabu Kediri, Jayabaya “Notonegoro”, bangsa ini (dibuat) yakin, negeri ini mestilah harus dipimpin oleh penguasa yang berasal dari suku jawa, diluar itu, cukup hanya menjadi wakilnya. Lihatlah catatan sejarah (yang biasa di bakukan dalam kurikulum sejarah di institusi pendidikan) presiden yang pernah memimpin Negara republic Indonesia dari sejak Soekarno hingga kini SBY mereka adalah persona yang berasal dari suku jawa. Bahkan Habibie yang memerintah dalam masa transisi reformasi menuju pemilu 1999 yang notabene berasal dari pare-pare Makassar, diasosiasikan pula dengan trah jawa yang darahnya berasal dari ibundanya yang berketurunan Jawa.

Bangsa ini sebenarnya banyak melahirkan manusia-manusia “besar”, yang turut memiliki andil dalam membidani terbentuknya Republik Indonesia tercinta ini. Bukan hanya Soekarno, Sudirman, Diponegoro atau bahkan Soeharto, melainkan juga Tan Malaka, Amir Syarifudin. Syahrir, Cut Nyak Dhien, Natsir serta banyak yang lainnya. Dalam catatan sejarah kemerdekaan bangsa ini, peran mereka selalu dipinggirkan dan dikecilkan, baik oleh karena pendiriannya (pemikirannya/ideologi), bukan ke-jawaannya, maupun karena gerakan oposisi yang mereka lakukan terhadap pemerintahan “Jakarta” pada waktu itu. Terlepas dari perbedaan perspektif berfikir terhadap kemajuan bangsa ini maupun ideology yang mereka “imani”, mereka juga mempunyai mimpi serta cita-cita yang secara substansi sama dengan para founding father (mother?) lainnya tentang visi kemajuan Republik ini di masa depan. Salah satu persona (sosok) besar yang turut memiliki andil besar terhadap keberlangsungan republik ini, yang sering dilupakan catatan sejarah ialah Syafrudin Prawiranegara.

Syafrudin Prawiranegara, pria kelahiran Banten 28 februari 1911-15 februari 1989 yang kadang dikira berasal dari Sumatera Barat (walaupun terdapat darah minang juga), memiliki peran besar dalam menyambung “nafas” eksistensi Republik Indonesia. Buyutnya adalah Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat yang dibuang ke Banten karena perang paderi. Lalu kemudian menikah dengan putri bangsawan Banten, Lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama Raden Arsyad prawiraatmadja. Seorang jaksa yang dekat dengan rakyat, hingga akhirnya beliau pun dibuang oleh Belanda dari Banten.

Sejarah pernah mencatat, berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) entitas pemerintahan sementara di Bidar alam, Sumatera Barat, ketika terjadi agresi militer Belanda ke 2 di tahun 1948. Berdirinya PDRI amatlah penting dalam konteks menghindarkan terjadinya “vacuum of power”, ketiadaan pemerintahan yang berdaulat di wilayah Indonesia. Ketika itu Jogja maupun Jakarta beserta para elit pemimpinnya, baik itu Soekarno, Hatta, Syahrir dan lainnya telah “dikuasai” Belanda. Ketiadaan pemerintahan yang berdaulat amat membahayakan karena dapat membuat “arus balik” simpati dunia international terhadap eksistensi Republik Indonesia. Belanda memang sengaja bertujuan untuk membuat dunia internasional (dengan adanya agresi) melihat bahwa tidak adanya pemerintahan yang berdaulat di wilayah Indonesia, sehingga wajar bagi mereka untuk tidak berunding di PBB dan kembali memasukkan wilayah Indonesia kedalam wilayah kerajaan Belanda. Atas usaha pemerintah daruratlah, Belanda dengan terpaksa berunding dengan Indonesia, yang akhirnya Soekarno-Hatta serta pemimpin lainnya dibebaskan dan kembali ke Jogjakarta.Di sinilah peran penting terbentuknya PDRI, guna menyelamatkan “sakaratul maut” Republik ini, menghindarkan Belanda untuk dapat meyakinkan dunia international atas tindakannya dalam menganeksasi wilayah Indonesia, dan Syafrudin Prawiranegara seorang Putra asal Banten dan bukan “keturunan Jawa” adalah penggagas sekaligus Presiden/Ketua dari pemerintahan darurat ini.

Dalam konteks diskursus kepolitikan menjelang pemilu saat ini, wacana “kedaerahan” sudah seharusnya di tanggalkan. Siapapun mereka yang akan menjadi pemimpin bangsa ini,-terlepas dari suku mana ia berasal- masyarakatlah yang menjadi penentunya. Yang sudah sepantasnya untuk dikedepankan adalah proses politik nanti mestilah melahirkan pemimpin yang meiliki kapasitas dalam mengelola Negara ini kearah yang lebih baik. Krisis financial global, menjalarnya praktek korupsi ke berbagai tingkatan lembaga pemerintahan, rekonsiliasi nasional, ancaman asing terhadap wilayah perbatasan terluar republik ini serta agenda penting lainnya adalah tugas yang amat berat dan amat dangkal apabila kembali dipusingkan dengan wacana pemimpin yang mesti berasal dari Jawa. Sejarah sudah membuktikan bahwa figure pemimpin bangsa tidaklah dimonopoli oleh 1 golongan atau suku saja, akan tetapi tergantung konteks latar sejarah serta keinginan masyarakat itu sendiri.

Sudah seyogyanya kehendak politik diserahkan kepada masyarakat, biarkan masyarakat melalui mekanismenya sendiri menentukan figur-figur pemimpin bangsa yang nantinya akan memimpin bangsa ini. Masyarakat juga sudah saatnya jeli dalam mengkomparasi janji-janji bakal calon pemimpin bangsa ini kedepan. Jangan sampai terbuai oleh janji-janji kosong yang pada akhirnya masyarakat hanya di jadikan komoditas politik yang murah. Untuk itu, masyarakat janganlah terjebak kepada pandangan politik yang sempit, yang melihat persona pemimpin dari kaca mata kedaerahan, relasi produksi, dikotomi sipil-militer, dan lainnya. Pilihlah pemimpin-pemimpin bangsa ini ke depan dengan bersandar kepada kapasitas kepemimpinannya, jejak rekam kepemimpinannya, integritas moralnya serta tidak lupa visi dan misinya dalam membawa perubahan kepada nasib bangsa ini ke depan. Apabila semua itu berjalan dengan baik, konsolidasi demokrasi kita akan harmonis serta menuju kepada tatanan yang berkeadilan dan mensejahterakan semua aspek bangsa. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: