Jumat, 13 Februari 2009

Demokrasi dan Kehendak Politik Publik

Seperti yang telah dikenal luas, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang di introdusir oleh Montesquie seorang filsuf prancis abad pencerahan, dimana ia membagi (separation power) ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances

Isitilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan struktur politik suatu negara.
Tidak seperti sosialisme ilmiah - yang jelas-jelas dirumuskan oleh Thomas more, Saint simon, fourier dan Robert owen - agak sulit menemukan tokoh yang menggagas demokrasi secara final. Namun ada teori yang jelas-jelas mendasari konsep demokrasi modern, yakni teori kontrak sosial yang dirumuskan oleh John Locke (1632 - 1704). Walau pun John Locke tidak pernah menyebut kata demokrasi secara eksplisit, tapi paling tidak teorinya memberi konsep dasar tentang kedaulatan rakyat dan konsep negara hukum (Budiarjo, 2004).

Konsep kedaulatan rakyat sebenarnya merupakan tanggapan Locke terhadap lingkungan politik yang mengelilinginya pada saat itu, yaitu kondisi Eropa pada Abad XVII. Saat itu, dogma yang menyatakan bahwa kedaulatan merupakan pemberian dari Tuhan kepada seorang raja (divine right of king) masih dijadikan asas dalam melegitimasi kekuasaan monarki absolut di Eropa. Ketaatan kepada raja dianggap sebagai konsekuensi iman dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari praktek keagamaan. Locke membantah dogma ini dengan menyatakan bahwa kedaulatan bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan. Untuk menopang pernyataannya itu dia melakukan pembuktian dengan menelesik asal-usul terbentuknya institusi politik (Schmandt, 2002). John Locke menjelaskan asal-usul terbentuknya institusi politik dengan melakukan hipotesa terhadap perkembangan kehidupan sosial manusia mulai dari fase sebelum terbentuknya institusi politik. Untuk itu, dia terpaksa harus menggambarkan keadaan alamiah manusia (state of nature). Keadaan alamiah adalah keadaan asal mula manusia yang asli, sebelum ada rekayasa sosial apa pun, termasuk pembentukan negara.

Menurut Locke, pada dasarnya manusia adalah individu yang bebas. Dalam keadaan alamiah -atau asli- masyarakat merupakan sejumlah manusia yang hidup bersama dengan kehidupan individual masing-masing. Manusia tidak disatukan oleh apa yang disebut dengan kepentingan bersama. Mereka semua merupakan manusia yang sederajat dan hidup merdeka tidak di bawah kekuatan superior apa pun. Dengan begitu dia tidak melihat hubungan antar manusia sebagai suatu unit organisme (tubuh) sosial yang bukan lagi sekedar kumpulan manusia, seperti halnya yang dipahami oleh Marx, Hegel atau Plato.
Demokrasi merupakan manifestasi sistem pemerintahan yang oleh Abraham Lincoln – tercatat selain sebagai tokoh pendukung gagasan demokrasi, juga merupakan mantan Presiden Amerika yang menghapus segala jenis perbudakan kulit hitam di Amerika – di wujudkan dalam siklus pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan semata-mata guna kepentingan rakyat. Salah satu ciri efektivitas demokrasi adalah adanya kesempatan bagi masyarakat atau publik untuk menentukan pejabat publik, termasuk pada tingkat lokal melalui mekanisme Pilkadal serta pada tataran nasional melalui mekanisme pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik. Berdasarkan konsep ini bahwa sebuah pemerintahan bisa dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat atau publik dengan cara yang terbuka dan jujur. Seperti apa yang pernah diutarakan Plato perihal demokrasi, adalah memperjuangkan persamaan derajat dan hak untuk mengambil suatu keputusan. Negara yang demokratis memang harus "penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara. Setiap orang dapat menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya."

Demokrasi dan Kehendak Politik : Suatu Ekspetasi Awal
Meminjam istilah dari Ahmad Sahal, seorang Doktor filsafat politik lulusan New York University, ia menyebutkan bahwa inti demokrasi ialah freedom to vote and voted, suatu kebebasan dalam beraktifitas politik baik itu dalam aktifitas memilih maupun dipilih dalam konteks aksi politik praksis. Ini seakan mengamini kelakar plato seorang filsuf yunani klasik, yang menyebutkan manusia semata-mata merupakan homo politicus, manusia yang selalu dipenuhi naluri maupun hasrat untuk memenuhi kepentingan atau akan selalu bergelut dengan aktifitas yang berkaitan dengan eksistensi mereka. Untuk itu lanjutnya, mesti ada suatu sistem yang menjamin sekaligus melindungi hak-haknya (private proverty) sebagai homo politicus dalam konteks setiap laku politik yang ia perbuat. Namun, sistem tersebut juga harus menjamin bahwa hak-hak individu tersebut tidak mencederai hak-hak politik swa masyarakat politik lainnya. Dalam menjawab pertanyaan sekaligus tantangan tersebut, Ian Shapiro seorang guru besar ilmu politik dari Yale University menjawab bahwa hanya demokrasilah yang bisa menjwab persoalan-persoalan pelik kehendak politik masyarakat.

Melihat elaborasi dari beberapa tokoh diatas, jelas demokrasi menjamin kehendak setiap individu dalam melakukan atau sekedar berpartisipasi dalam aktifitas politik. Demokrasi tidak mengenal gender, strata sosial maupun pendidikan, usia dan sebagainya, demokrasi menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme publik dalam menentukan pilihan politiknya (dalam konteks Pilkada misalnya). Kehendak politik merupakan hak asasi yang bahkan dalam dogma agama pun dilindungi, walaupun membatasinya dengan kecakapan serta tingkat intrepetasinya terhadap hukum Profan Tuhan. Namun dalam prinsipnya, setiap persona individu, berhak dan wajib dalam ikut serta berproses politik. Ini penting karena legitimasi politik kebijakan akan menguat serta berdaya guna manabila partisipaasi politik publik itu massif digalakkan.

John Rawls dalam essainya (1956 : 23), mengatakan bahwa suatu tatanan sistem itu dapat dikatakan adil atau melindungi segenap hak citizen ship manabila terpenuhinya dua aspek yakni : pertama, tatanan itu harus menjamin agar setiap orang punya hak yang sama dalam merealisasikan potensi-potensi dirinya, seperti hak berserikat dan berkumpul, hak aspirasi politik, berpendapat dsb. Kedua, ketidak samaan itu dibolehkan asalkan yang diuntungkan adalah orang-orang yang terpinggirkan (marjinal atau disadvantage). Meminjam dua postulat dari John Rawlz, maka kita bisa berasumsi bahwa politik yang ideal adalah kebebasan berpolitik dalam konteks memilih atau dipilih, seyogyanya diserahkan kepada mekanisme publik. Publik sebagai basis otonomisasi politik demokrasi, akan memakai mekanismenya sendiri dalam menentukan figur publik yang akan di jadikan pemimpin mereka. Namun kita juga jangan terjebak oleh asumsi yang menggeneralisasi bahwa publik itu pasti dapat dibodohi, asumsi tersebut menurut penulis sesat serta menyesatkan. Dalam konteks mekanisme publik, publik dalam perspektif pluralis merupakan agregasi dari berbagai latar belakang, multi brain kalau boleh meminjam istilah dari jalaludin rahmat. Oleh karenanya biarkan publik untuk berkohesi sosial dan politik, biarkan publik ber”mekanisme politik” secara mandiri, justru itu menurut penulis yang akan mendewasakan publik dalam konteks demokrasi politik.

Dikotomi Golongan Muda Vis-a-Vis Golongan Tua
Fazlur Rahman, seorang aktivis 98’, berujar bahwa sudah saatnya generasi maghribi (ia mengasosiasikan istilah senja, magribh istilah dalam waktu islam untuk menyebut generasi tua) lengser dari tatanan politik bangsa, sudah saatnya generasi-generasi muda menggantikan generasi tua yang penuh lumuran dosa tersebut. Ia berasumsi bahwa keadaan indonesia yang pasca reformasi semakin tidak menentu ini diakibatkan oleh masih bercokolnya kekuatan-kekuatan generasi tua (generasi yang hidup dan dihidupi oleh orde baru) dalam tatanan kepemimpinan bangsa ini. Ia mensitir pendapat dari Samuel huntington (1987 : 43) yang menyebutkan bahwa untuk memperbaiki suatu kedadaan negara yang hancur karena masa lalu otoritarianisme serta absolutisme personal adalah dengan memangkas generasi serta menghidupkan nafas generasi sesudah orde tersebut. Ini mengamini pendapat bahwa dikotomi generasi mesti dilakukan serta di rivalkan antar kedua generasi tersebut.

Dalam konteks pembangunan demokrasi politik (ini penting karena indonesia pasca orde baru masih dalam tahap transisi menuju pembangunan demokrasi yang genuine) jelas ini merupakan hal yang perlu disikapi secara bijak. Demokrasi menjamin tidak mengebiri hak-hak sipil dalam berpolitik, dan fazlur Rahman juga sudah jatuh kepada idio kesalahan berfikir yang disebutkan oleh Jalaludin rahmat yakni dengan mudahnya menggenalisir setiap potret sosial politik, dalam konteks ini fazlur rahman menggenalisir setiap generasi tua direpublik ini diasosiasikan dengan rezim orde baru beserta dosa-dosanya. Bukankah sistem ketatanegaraan kita menjamin hak-hak sipil walaupun berbeda kebudayaan, ras, usia, gender dan seterusnya baik dalam batang tubuh UUD maupun dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 serta pasal 28 UUD 1945 ?.
Meminjam analogi dari Anas Urbaningrum Ketua bidang politik DPP Partai Demokrat, “buah yang matang dengan secara alami, manisnya akan lebih terasa dibandingkan dengan buah yang matangnya karena dikarbit atau melalui proses yang tidak alami. Buah yang alami lebih padat, terjamin vitaminnya serta awet masanya tidak mudah busuk, sedangkan buah yang matang prematur atau dikarbit, penuh dengan proses kimia yang jelas ada efek sampingnya, mudah busuk serta tidak berkualitas bila dicermati secara seksama”. Analogi diatas mungkin tepat dalam mengilustrasikan betapa dalam konteks politik merit sistem atau jenjang karier politik juga mesti diutamakan.
Generasi muda yang berkualitas mesti di dialektikakan oleh setiap perubahan, tantangan, serta proses sosial poltik sehingga pada waktunya nanti ia akan matang, berkualitas serta berdaya tahan lama dalam percaturan politik bangsa ini. Namun generasi muda yang dikarbitkan jelas tidak sehat, riskan akan kepentingan jangka pendek serta tidak menjamin kepemimpinannya akan bersih dari sortiran kepentingan tak berwujud.

Sudah seyogyanya kehendak politik diserahkan kepada publik, biarkan publik melalui mekanismenya sendiri menentukan gigur-figur pemimpin bangsa yang nantinya akan memimpin bangsa ini. Apabila semua itu berjalan dengan baik, konsolidasi demokrasi kita akan harmonis serta menuju kepada tatanan yang berkeadilan dan mensejahterakan semua aspek bangsa. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: