Jumat, 13 Februari 2009

Peranan Gerakan Pemuda Dalam Merekonstruksi Politik Kultural NU

Nahdatul Ulama atau yang biasa disingkat dengan NU merupakan organisasi islam kultural terbesar di Indonesia, Glifford Greetz dalam satu essainya (Politik aliran dalam khazanah islam jawa : 1922) bahkan menyebutkan jumlahnya mencapai 35 juta jiwa. Jelas itu merupakan suatu angka yang fenomenal bagi sebuah organisasi kultural yang berbasiskan santri-santri pondok pesantren khususnya dipulau jawa. Mengingat pada masa tersebut (dalam konteks penelitian Greetz) semangat nasionalisme sedang massif digalakkan yang paradoks dengan cita-cita islam itu sendiri yakni mendirikan suatu peradaban berlandaskan hukum kitabullah dan Sunnah rasul (Qur’an&hadits) yang bersifat internasionalisme.

Dalam khazanah gerakan politik (baik yang bersifat gradual maupun radikal), gerakan politik NU menurut sebagian peneliti, berada diluar kategori gerakan yang ada. James Mossman misalnya (Rebels in paradise : Indonesia civil war, 1961 :136) menyebutkan bahwa pada masa banyak gerakan sipil di tahun tersebut, NU bersifat kompromistis dengan mainstream politik yang ada. Bahkan George M.T Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952:76) menyebut politik NU sebagai politik oppurtunis, yang disebabkan sikap politik tokoh-tokoh NU yang diluar mainstream gerakan politik islam ketika itu. Terlepas dari itu semua, tak dapat dipungkiri NU sebagai organisasi kultural islam (namun tak dapat dipungkiri bersifat politik juga yang direpresentasikan oleh sebagian tokohnya ketika bergabung dengan PPP misalnya di era orde baru yang tetap memakai simbol-simbol NU dalam kampanye politiknya) kerap mewarnai khazanah gerakan politik bangsa baik dari sejak kemerdekaan bahkan hingga saat ini.

Aktifitas dakwah yang diemban oleh tokoh-tokoh NU, tidak menghilangkan semangat aktifitas gerakan politiknya. Ini terbukti ketika era orde baru banyak tokoh-tokoh NU yang berbondong-bondong bergabung dengan PPP yang ketika itu merupakan satu-satunya wadah aspirasi politik kaum muslim pasca fusi parpol yang di inisiasikan oleh orde baru guna menciptakan tertib politik. Kendatipun tidak menyebut nama NU secara eksplisit, namun tetap saja individu2 tersebut melembaga yang menjadikan PPP sebagai ”habitat” politik kaum nahdiyin.

Namun paradigma kolot mengenai politik kultural NU dekade 80’an telah berubah dengan ekstrem. Semula politik kultural NU yang sembunyi2 mulai diekspose dengan munculnya intelektual2 muda NU semisal Abdurahman Wahid, Masdar mas’udi serta yang lainnya yang meramaikan wacana intelektual di Indonesia pada masa itu. Persepsi masyarakat yang memandang NU hanya sebatas gerakan santri, berubah menjadi gerakan yang kultural islam yang dibalut dengan khazanah intelektual kampus. Hal ini tidak terlepas dari massifnya suatu perubahan pola pikir ditubuh elit NU ketika itu yang menginginkan NU bersinergi dengan perkembangan keilmuan yang sedang menggeliat lewat ideologi pembangunan orde baru. Banyak tokoh-tokoh muda NU yang disekolahkan diluar negeri semisal di Al-Azhar Kairo, mesir serta negara timur tengah lainnya yang dipandang memiliki khazanah keilmuan islam yang holistik. Namun tidak semua tokoh-tokoh muda tersebut yang disekolahkan di timur tengah, terdapat pula beberapa aktifis muda NU semisal Djoko Pratiwo, Bambang Kesumantri yang di sekolahkan diperguruan2 tinggi di negara barat semisal Amerika. Sehingga yang terjadi kemudian adalah pertemuan dua arus pemikiran yang semakin membuat NU menjadi lebih bersifat tidak hanya kultural jawa islam melainkan juga terpengaruh oleh pemikiran2 barat.

Seperti yang pernah di utarakan oleh John Maxwell (1992 : 32) peranan merupakan suatu tolak ukur dari eksistensi manusia dalam suatu komunitas sosial masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Terdapat 2 indikator yang digunakan dalam mengukur suatu peranan individu atau kelompok dalam suatu perubahan dimasyarakat yakni : 1. Sejauh mana keberadaannya mempengaruhi pola atau entitas nilai suatu masyarakat tersebut dalam memandang suatu realitas sosial yang terjadi di lingkungannya. 2. Tingkat keterlibatannya dalam suatu aktifitas kelompok dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumya melalui perubahan tata nilai diatas. 2 point diatas kemudian memunculkan 2 postulat penting yakni jika seorang individu itu dapat dikatakan berperan manabila individu tersebut mmbawa perubahan dalam tata nilai maupun perspektif berfikir suatu masyarakat yang sebelumnya terbelakang atau kurang maju, maka ia pun pasti akan terlibat secara aktif dalam aktifitas pengelolaan perubahan tersebut. Namun seseorang tidak dapat dikatakan berperan ketika keberadaannya tidak membawa nuansa perubahan baik dalam konteks perspektif berfikir masyarakat maupun aktifitas perubahan yang ada.

Andrianus Sembiring (1995:23) mengutarakan bahwa dalam setiap komunitas masyarakat, setiap individu memiliki peranannya tersendiri. Premis tersebut benar dalam konteks kondisi masyarakat yang ajeg, namun dalam konteks suatu perubahan sosial, tidak semua individu memiliki peranan. Namun memang harus diakui, keberadaan masyarakat pun dipandang penting dalam setiap perubahan yang ada. Ibarat sebuah mesin, para intelaktual adalah sekrup2 serta olinya sedang masyarakat adalah anekaguna mesin tersebut.

Kembali dalam konteks peranan gerakan pemuda dalam merekonstruksi politik kultural NU, ibarat air segar dipadang pasir itulah analogi yang menggambarkan betapa intelektual muda NU membawa perubahan yang membalut jubah kultural NU dengan jahitan emas intelektualitas. Kini, kaum nahdiyin (kalangan santri NU) tidak dipandang hanya sebatas kalangan tradisionalis namun juga memiliki wawasan pengetahuan yang dinamis. Tokoh2 muda NU yang membawa angin perubahan dalam konteks pemikiran politik misalnya menemukan momentumnya ketika pasca orde baru, mesin politik kaum nahdiyin yang berbadan hukum terbentuk yakni PKB yang dimotori tokoh seniornya Gusdur bersama kalangan muda dekade 90’an seperti AS Hikam, Projo Sumantro serta lainnya. Jelas hal tersebut merupakan kemajuan yang berarti. Meminjam 2 indikator diatas, tokoh intelektual muda NU ketika itu, bukan hanya merubah (merekonstruksi) perspektir berfikir kaum nahdiyin tetapi juga secara aksiologis menyediakan wadah sebagai mesin agregasi kepentingan politik kaum nahdiyin. Peranan para kyai hanya sebatas bersifat sprituil, namun gerakan akar rumput sampai yang bersifat politik praksis, kaum mudalah yang berperan pentng. Meminjam istilah Agus Prawoto (2002:43) NU kini bukan hanya gerakan dakwah tradisionalis, namun juga bersifat gerakan pencerahan bagi bangsa. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: