Jumat, 13 Februari 2009

Ringkihnya Entitas Negara dan Masyarakat Indonesia

Fenomena akhir-akhir ini menjadi babak baru realitas sosiologis masyarakat bangsa Indonesia. Laporan yang terbaru menunjukkan angka pasien rumah sakit jiwa di semarang meningkat (laporan kunjungan Seto Mulyo ketua Komnas Anak di semarang tahun 2007), tragedi yang bersifat “langka” pun sering terjadi entah itu ibu kandung membunuh anaknya sendiri (kasus di riau desember 2007), ayah memperkosa anak kandungnya sendiri (Palangkaraya maret 2006), orang tua kandung yang tega menjual anaknya sendiri ke rumah prostitusi (laporan acara kriminal Buser di SCTV maret 2008) berkecambahnya aliran keagamaan yang di sinyalir “sesat” (terakhir diberitakan medio januari 2009) serta fenomena “langka” lainnya yang mengisi lembaran hitam bangsa ini yang tentu saja amat memilukan. Apakah Ada yang salah dengan bangsa ini ?


Gejala sosial dan degradasi mental manusia

Schumpeter, seorang ekonom dan filsuf asal Prancis pernah berujar dengan bijak bahwa spectrum utama dari reduksi mental serta lost identity manusia bukanlah pada perolehan masalah kehidupan, melainkan berpangkal kepada kebingungan akan ketiadaan metode dalam menghancurkan gunung es permasalahan yang ada. Manusia menjadi makhluk yang absurd, ketika terjadi suatu realitas kehidupan yang penuh dengan anomaly-anomali imajinasi atau pengharapan sebelumnya. Dalam perspektif yang lain, Sigmund freud seorang master psiko-analisis mengatakan, dorongan-dorongan naluri keterasingan dalam alam bawah sadarlah yang mengakibatkan manusia mengalami alienasi diri (istilah marx) yang dampaknya kemudian membuat manusia menjadi agresif. Naluri agresifitas manusia menemui momentumnya ketika desakan problematika kehidupan memaksanya untuk bergerak, namun karena ketiadaan metode atau sarana pengetahuan yang terbatas pada dirinya sehingga yang terjadi kemudian adalah personality chaos, pribadi yang brutal dalam menyikapi masalah yang ada.

Schumpeter maupun freud sesungguhnya berusaha menjelaskan kepada kita semua bahwa alam bawah sadar yang mensugesti ke-diri-an manusia, merupakan refleksi dari visualisasi realitas sosial di lingkungan kehidupannya. Artinya, alam bawah sadar sesungguhnya menangkap realitas ditataran kebendaan (realitas sosial, ekonomi, politik, budaya) yang kemudian mensimulasikan serta membentuknya menjadi sugesti bagi perilaku atau tindakan sosial manusia. Dalam konteks masalah sosial-ekonomi misalnya, visualisasi kelangkaan minyak tanah dalam realitas sosial membentuk perilaku kepanikan massa yang sporadis yang ironisnya malah semakin membuat keadaan tidak menentu. Bahkan bila terjadi sugesti yang impresif (sugesti yang terlahir dari tekanan batin yang amat dalam akibat tekanan kemiskinan misalnya) bisa membuat manusia berbuat sesuatu yang amat irrasionil contohnya kejadian seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya sendiri seperti yang diberitakan di TV maupun di media cetak yang dikarenakan ketakutannya terhadap masa depan anaknya kelak (faktor kemiskinan). Fenomena yang memilukan ini, lahir dari realitas sosial yang bobrok, serba tidak jelas arah penyelesaiannya yang akhirnya membentuk pribadi-pribadi yang brutal dalam menyikapi masalah yang ada.


Tesis Schumpeter serta hubungannya dengan realitas sosial saat ini

Meminjam tesis schumpeter, kondisi yang ada pada “kedirian” atau realitas “bawah sadar” manusia bukan hanya diciptakan oleh sugesti-sugesti tak berwujud, namun realitas sosial di lingkungannya memiliki kontribusi yang signifikan dalam membentuk realitas “bawah sadar” manusia tersebut yang akhirnya berwujud kepada perilaku sosial. Ini artinya perilaku “aneh” manusia indonesia akhir-akhir ini bukan tanpa jejak, tidak timbul secara spontan dan bukan pula gejala takdir ! (ini penting penulis ungkapkan, karena masih ada sebagian besar masyarakat yang berfikir ini semua sudah takdir ! padahal ini tidak logis, keliru bin sesat meminjam istilah dari jalaludin rahmat ini merupakan salah satu kesalahan berfikir yang disebut dengan Fallacy of retrospective determinism). Kondisi yang terjadi dimasyarakat saat ini tidak lain diakibatkan oleh realitas sosial –tataran kebendaan meminjam istilah marx- yang penuh dengan tekanan baik itu secara sosial-ekonomi, politik, ketidak-adanya rasa aman dsb yang memicu kepada tekanan mental psikologis. Problematika kehidupan inilah yang akhirnya menciptakan rasa takut, kekhawatiran yang berlebihan, paranoid terhadap keberlangsungan hidup kedepan dan akhirnya membentuk perilaku yang irrasional.

Apabila kita memetakan masalah yang terjadi saat ini sesungguhnya yang menjadi core problem dari fenomena paranoia massal bukanlah kepada realitas masalah yang ada, namun lebih kepada tidak tersedianya ruang-ruang penyelesaian masalah. Masalah akan selalu hadir di setiap zaman, dimanapun dan bagaimanapun afirmasi maupun resistensi terhadap gejala masalah. Fungsi negara sebagai organisasi yang memiliki wewenang untuk mengatur serta mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (Saltou dalam Budiarjo, 2005:39), tidak bertindak (melalui aksi kebijakan) sesuai dengan harapan (ekspetasi) publik. Negara yang seharusnya menyediakan ruang-ruang dialog serta penyelesaian persoalan dalam masyarakat, seakan mengalami pelemahan-pelemahan kuasa (via a vis pemerintah ?) dalam menyediakan ruang-ruang penyelesaian bagi publik. Seperti masalah penggusuran pedagang kaki lima atau kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) misalnya, negara seharusnya bukan hanya menjadi alat represif monopoli kebijakan akan tetapi juga bisa memberikan suatu “angin segar” bagi publik guna meredam gejolak realitas sosial yang ringkih ini. Bukan hanya sekedar menggusur serta bertindak arogan, akan tetapi mengajak masyarakat untuk berpartisipasi melalui penyediaan ruang-ruang dialog serta memberikan penilaian yang objektif mengenai suatu realitas masalah. Negara melalui aktor-aktornya, jangan hanya memaksakan entitas nilai yang baik baginya (baca ; elit pemerintah) melainkan juga mesti berempati publik yakni dengan mencoba menyelami suasana kebatinan masyarakat. Dalam konteks penggusuran pedagang kaki lima misalnya menyediakan lokasi yang baru bagi para pedagang kaki lima (relokasi) yang digusur dengan lokasi baru yang strategis bukan lokasi yang sepi akan aktifitas ekonomi masyarakat.


Re-orientasi relasi Negara dan masyarakat

Negara selalu ingin di mengerti, dan masyarakat mesti mengalah kepada kepentingan egosentris negara. Padahal dalam konteks Negara kesejahteraan “welfare state”, bukan hanya entitas nilai negara yang dikedepankan, akan tetapi varian kebutuhan masyarakat menjadi hal yang amat penting untuk di akomodir serta kemudian dijadikan sebagai input aksi kebijakan Negara (Prayitno, 2003:21). Ini penting, karena aksi kebijakan yang bukan semata-mata merupakan kebutuhan riil masyarakat, hanya akan mengakibatkan delegitimasi pemerintah yang berkuasa, yang berimplikasi kepada lemahnya dukungan terhadap program pembangunan pemerintah baik melalui sikap skeptis publik dengan cara tidak ikut serta dalam proses pemilihan pejabat publik (kepala daerah misalnya) sampai kepada sikap berlawanan dengan pemerintah melalui aksi-aksi politik yang damai sampai dengan yang anarkis (Nandang, 2009:25).

Lalu bagaimana peran Negara maupun entitas bangsa secara keseluruhan dalam menyikapi aras realitas sosial kemasyarakatan saat ini yang serba getir dan memilukan ini ?. Setidaknya terdapat 3 hal yang mesti segera dilaksanakan dan merupakan domain Negara (wiradaguna, 2005:31) yakni :

  • Produk kebijakan yang inklusif serta partisipatif : dalam setiap aksi kebijakan, orientasi tidak bersifat eksklusif. Kebijakan bukan hanya untuk kepentingan klien Negara tapi bagi kesejahteraan semua. Bukankah ‘kebijakan’ ada untuk menanggulangi permasalahan hajat hidup orang banyak, bukan malah menciptakan masalah. Produk kebijakan Negara janganlah untuk memarjinalkan kelompok yang lemah atau minoritas (inklusif), malah sudah semestinya melindunginya serta meng-empower kelompok masyarakat yang lemah tersebut. Selain itu, setiap aksi kebijakan negara mesti merupakan agregasi aspirasi riil masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya, kebijakan tersebut menjadi obat mujarab bagi permasalahan rakyat.

  • Sebagai sebuah organisasi yang memiliki wewenang dalam mengatur serta mengendalikan persoalan bersama, Negara jangan hanya memberikan “informasi” permasalahan yang ada, namun Negara juga berkewajiban berusaha secara serius mengatasi permasalahan tersebut. Namun jangan rakyat yang menjadi “tumbal” dari mekanisme tersebut, rakyat mesti menjadi pihak yang paling minim resikonya dari sebuah penyelesaian permasalahan Negara.

  • Tersedianya Akses bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Terdapat transparansi maupun kemudahan akses bagi masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai content kebijakan negara, serta mekanisme beserta instrument turunannya dalam menyampaikan aspirasi. Dengan adanya akses bagi masyarakat untuk mengetahui mengenai content kebijakan negara, akan terciptanya asa saling memahami antara Negara dengan rakyatnya. Sehingga stabilitas pembangunan akan terjaga dan berkesinambungan.


Adapun peran entitas masyarakat secara keseluruhan dalam mengatasi degradasi mental di lingkungannya ialah :

  • Membangun semangat komunal, rasa kebersamaan serta saling memperhatikan. Prinsip-prinsip individualistis yang menggejala di masyarakat saat ini, mesti segera diruntuhkan. Semangat individualistis yang tidak peka terhadap nasib sesamanya merupakan salah satu factor penyebab lost identity yang akhirnya memicu perilaku irrasional. Ketika asa kebersamaan dan saling memahami terbangun, persona individu dalam masyarakat tidak akan tinggal diam apabila ada tetangganya yang lapar, atau kesakitan. Sehingga sebenarnya meminimalisir tingkat stress bagi persona yang kebetulan dihinggapi masalah tersebut.

  • Membangun Kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan keputusan. Ini artinya memberdayakan kemampuan masyarakat, baik dalam konteks meningkatkan pemahaman atas realitas politik, ekonomi, sosial budaya serta lainnya sehingga masyarakat memiliki pengetahuan serta argumentasi yang kokoh dalam mempengaruhi kebijakan negara. Ini merupakan kewajiban bagi entitas masyarakat yang sudah “berdaya” guna mentransformasikannya kepada elemen masyarakat lainnya yang belum “melek” akan realitas sosial yang terjadi saat ini.

  • Dan yang terakhir, membangun kembali atmosfir spiritualitas disetiap sudut wilayah sosial kemasyarakatan. Ini penting, karena di asumsikan penyebab lain dari pada tergerusnya harapan serta semangat hidup manusia ialah karena hilangnya sandaran atau pijakan dari problematika hidup. Ketika asa spiritualitas memudar, sedangkan Negara beserta elitnya yang menjadi instrument harapan public dalam penyelesaian masalah juga tidak bisa diharapkan, maka trust secara ekstrem akan menjadi “kegilaan” jiwa. Untuk itu, amat penting untuk membangun kembali trust tersebut, dimulai dari menumbuhkan kepercayaan diri melalui pesan-pesan keagamaan, lalu kemudian meningkatkan trust akan kemampuan Negara dalam menyelesaikan persoalan yang ada.


Realitas gejala sosial saat ini, mesti segera diselesaikan baik oleh Negara sebagai

organisasi yang memiliki wewenang serta kuasa, maupun bagi entitas bangsa secara keseluruhan. Apabila tidak, dikhawatirkan gejala sosial saat ini ke depan akan menggerus “peradaban” bangsa, serta menghambat cita-cita memujudkan bangsa yang sejahtera dan “merdeka” bagi rakyatnya. Negara beserta rakyatnya semestinya memungut kembali puing-puing, retakan-retakan mimpi kesejahteraan serta keadilan yang terserak. Kemudian disatukan dan direkatkan sehingga menjadi entitas nilai yang paripurna, dimana merupakan mimpi serta cita-cita dari para Founding fathers bangsa ini dahulu akan menjadi keniscayaan. Apabila tidak, Indonesia akan mengalami apa yang disebut oleh Latif Wiradaguna (2004:126) dengan “kegilaan zaman”. Wallahu A’lam.


Tidak ada komentar: